Thursday, November 24, 2005

The Lost Meanings of Christmas

RICHARD PRATT, seorang profesor Perjanjian Lama dari sebuah Seminary di Orlando, pernah membawakan suatu seminar khusus yang bertemakan Upside Down Worship. Intinya hari ini ibadah orang Kristen sudah terlalu banyak menyimpang dari fokus yang sesungguhnya. Hal utama bukannya menjadi yang terutama melainkan telah ber(di)geser oleh aksesori-aksesori lain yang menjauhkan perhatian jemaat dari makna ibadah yang benar yang berpusatkan hanya kepada dan memuliakan Allah saja. Pratt mengacu pernak-pernik lain yang distractive tersebut kepada ibadah/kebaktian yang telah turun derajat menjadi sekedar 'persekutuan' dengan teman-teman, berubah fungsi menjadi sarana entertainment, berbagai macam terapi penyembuhan, atau sebaliknya khotbah yang lebih mirip lecture daripada sermon.

Hal yang utama seharusnya menjadi yang terutama, jangan terbalik atas bawah. Demikian pula dengan momen Natal ini. Sudah terlalu sering Natal disambut dengan amat gembira dan penuh perencanaan hanya karena inilah waktu yang paling tepat sepanjang tahun untuk menggelar mega sale (bagi kalangan bisnis), shopping dan bertemu keluarga jauh (bagi para konsumen dan sebagian kita), dan kebaktian spesial bagi kalangan gerejawi. Event Natal yang memang dekat dengan akhir tahun sudah menjadi begitu biasa dan rutin dirayakan di hampir setiap perusahaan dalam bentuk Christmas party. Sampai-sampai ATO harus mengadakan aturan khusus untuk Christmas party ini karena termasuk kategori provision of meal entertainment to employees yang berpotensi terjaring ke dalam FBT (Fringe Benefit Tax). Ironisnya, tidak pernah satu kali pun nama Kristus atau Yesus yang adalah bayi Natal itu disebut. Jangankan disebut, diingatkan pun tidak. Natal menjadi seperti perayaan ultah yang paling terkasihan bagi yang berulang tahun karena malah Dia yang paling tersisihkan dari pesta itu sementara para undangan makan minum bersenda gurau haha hihi di balik kerudung berjudul "Natal".

Makna Natal yg terhilang

Natal seharusnya menjadi momen di mana ada kontemplasi dan kesadaran penuh yang semakin dalam tentang mengapa dan bagaimana mungkin Allah Pencipta manusia telah begitu rela dan kasih untuk berinkarnasi dan masuk ke dalam ke dunia yang kotor ini, hidup dan menjadi sama dengan manusia ciptaan-Nya. Oswald Chambers di bukunya My Utmost for His Highest menegaskan Natal bukanlah manusia yang lahir dan dibesarkan lalu dinobatkan menjadi Allah melainkan Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia. Berinkarnasi berarti menjadi daging dengan segala kelemahan dan kedagingan yang melekat dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Namun Natal hanyalah bagian pertama dari serangkaian tindakan Allah dalam rencana keselamatan yang sudah ditentukannya semenjak manusia jatuh ke dalam dosa. Natal menjadi tak berarti apa-apa apabila tidak diikuti oleh Jumat Agung, Paskah, dan Kenaikan. Karena itu pesan Natal yang sejati dan utuh sesungguhnya bukan hanya ekspresi kasih Tuhan kepada manusia tetapi juga ungkapan keadilan Allah atas pemberesan hutang dosa umat manusia yang tidak mungkin 'diurus' (dibayar) dengan perbuatan amal atau menjadi pertapa sekalipun. Kasih dan keadilan Allah terlihat lengkap dan seimbang dari palungan hingga bukit Golgota. Dari sisi keadilan, kemanusiaan Yesus Kristus memungkinkan Ia menggantikan kita menerima murka Allah di kayu salib dan mengalami perpisahan dengan Bapa-Nya yang adalah 'kematian' dalam arti sebenarnya. Dari sisi kasih, keilahian Yesus Kristus melayakkan Dia untuk menjadi korban yang sempurna dan tak bercacat sehingga tubuh yang tercabik dan darah-Nya yang tercurah bernilai tak terbatas bagi seantero milyaran manusia berdosa yang pernah hidup dan akan dilahirkan di atas bumi ini.

Sesuai dengan mandat penginjilan dari Tuhan Yesus sebelum Ia naik ke surga, gereja dan jemaat per pribadi seharusnya menggunakan Natal sebagai kesempatan emas untuk menyampaikan pesan Injil yang murni dan yang menyelamatkan. Donasi kepada kaum papa dan tertindas amatlah bijaksana namun kesempatan pemberitaan Kabar Baik hendaknya tidak terlewatkan karena manusia sebetulnya membutuhkan lebih daripada sekedar ikan atau pancing tetapi yang terutama Sang Pencipta ikan itu sendiri. Kecenderungan yang memprihatinkan adalah gereja malah seolah "berlomba" menyelenggarakan Christmas celebration yang semeriah mungkin, musical performance yang wah, kalau perlu mengundang artis. Tidak seluruhnya salah tetapi pergeseran makna Natal amat berpotensi telah terjadi. Hal yang utama tidak lagi menjadi yang terutama karena tergantikan oleh rupa-rupa aksesori yang memindahkan konsentrasi jemaat dari misi Sang Bayi Natal ke sang artis pujaan atau distraction yg lain.

Dalam kerangka rencana besar penyelamatan Tuhan, Natal juga menjadi milestone di mana kita mengingat bahwa kedatangan Yesus yang pertama kali sekitar 2.000 tahun yang lalu akan disusul oleh kedatangan-Nya yang kedua. Kapan waktunya tidak ada yang tahu selain Bapa sendiri. Karena itu, orang percaya perlu bersiap dari sekarang.

Natal Bersama

Penginjilan bukanlah kristenisasi. Kita tidak dituntut untuk "menghasilkan buah" secara langsung melainkan yang terpenting adalah kita melakukan bagian kita dan Roh Kudus yang bekerja seterusnya. Demikian pula dalam kesempatan merayakan Natal bersama ini, keseimbangan antara kebersamaan dan peran serta setiap anggota tubuh Kristus dengan pencapaian hasil terbaik perlu diupayakan seoptimal mungkin. Pernyataan 'proses lebih penting daripada hasil' dapat berlaku dalam konteks ini mengingat kepanitiaan yang melibatkan begitu banyak gereja dengan keunikannya masing-masing bukanlah suatu hal yang sederhana. Asal dikerjakan dan didoakan dengan sungguh dan semaksimal mungkin, pasti ada berkat Tuhan di dalamnya. Berkat rohani yang menyentuh relung hati dan pikiran setiap kita untuk mempersembahkan ibadah bersama segenap tubuh Kristus di kota Sydney ini yang menjadi hadiah Natal nan terindah bagi Dia yang pernah terlahir dan menjadi bagian dari sejarah dunia bagi keselamatan manusia. Selamat Natal dan Selamat Menjelang Tahun 2006. – EJ

Tuesday, November 08, 2005

Adegan Kehidupan II

KISAH DUA SEJOLI (1)

Wangi semerbak padang rerumputan
Dua sejoli mengikat janji tanda cinta
bersama menganyam kebahagiaan
di antara canda dan tetes air mata


KISAH DUA SEJOLI (2)

Altar gereja kuno pagi-pagi nian
Empat lutut terjatuh memohon berkat dan jaga
suka duka mengarungi kehidupan
melaju di atas bahtera rumah tangga


E-Jay & Associates (C) 2005
Semak Merah, May 2005



Friday, September 23, 2005

Education can break vicious poverty cycle

BEIJING, Xinhuanet -- Statistics, they say, conceal more than they reveal. Not always, though.

On September 8, the International Literacy Day, China announced it still has 85 million illiterate people. Most of them are clustered in the country's less developed rural areas of the landlocked western regions.

Earlier, Liu Xiaoyun, a scholar with China Agricultural University, disclosed that there are the same number of people in China still in the grip of poverty. Again, they are rural residents or migrant "floating" groups from rural areas.

The announcements may have been mutually exclusive but the figure of 85 million is more than a coincidence.

Official explanations are difficult to find but it is common knowledge that the illiterate are more likely to remain poor, and the poor are more likely to be illiterate (or uneducated and unskilled). It is a vicious cycle. The poor cannot afford education, and the illiterate cannot hope to earn enough to overcome poverty.

Those caught in the cycle tend to remain poor throughout their life and, in many cases, down the generations. And almost always, the children are the worst sufferers in this transgenerational poverty.

So how does one get out of the rut?

China enforced a nine-year compulsory education system in 1986; and the Ministry of Education reported a 90-per-cent attendance rate for compulsory education last year.

It is a reasonable postulation that the 10 per cent who didn't attend schools were children of the disadvantaged groups.

For the poorest group of children, poverty is both a cause and a result of inaccessibility to education. Poor children are less likely to be enrolled in schools or to complete the basic level of education. For, even if schooling is free (a goal of the Chinese Government), uniforms, stationery and transport are not. And these may still be well beyond the means of a poor family.

So what does a family with more than one school-going kid do? It may decide to pull out one or more of its children from school. Unfortunately, in most of the cases it is the girl child that falls victim to the hand of fate.

Xiao Mei, a senior secondary school student, is the daughter of one such poor family in Yuzhong County of Gansu Province. Since the rural household depends on income from agriculture, her father said he could no longer afford education for both children, Xiao and her brother. But he did not want to be unfair to either of them. So on August 24, he decided to choose the "school-goer" by drawing lots. The boy won. Unable to bear the pain of having to stay away from school, Xiao Mei tried to commit suicide. Fortunately, she did not succeed. That is how difficult and painful education for a poor family can be.

There is another reason why poor parents are forced to keep their wards out of school: family income. If the child is old enough to work and drops out of school, he/she can contribute, however little, to the family instead of making it pay for his/her education.

In 2003, China spent 3.28 per cent of its gross domestic product (GDP) on education - well below the world's average of 4.1 per cent for developing countries and merely half that of the developed ones.

Governments at the lowest levels - in townships and counties - shouldered the bulk of the financial burden to provide education for children, most of them in the rural areas. Unlike central and provincial governments that have a diverse source of revenue, the grass-roots authorities' income is heavily reliant on agricultural taxes and fees, thus putting them in a real Catch-22 situation as far as rural education is concerned.

The rural poor have to pay more so that grass-roots authorities will be better off financially to provide for their children's education. But the more they pay, the more impoverished their condition becomes. And the less they pay, the more difficult it is for the authorities to raise education funds. But worse than that is the choice a poor family has to make: falling deeper into poverty to educate a child, or maintaining the status quo without any real future for the children.

We know the cycle of poverty can be broken through education. So let the central and provincial governments shoulder a bigger share of the financial burden needed to make education truly free, starting with the poorest 10 per cent of school-age kids.

Such a move will help bridge the "education gap," or inequities in education - giving equal access to all children and relieving the poor of the pinch of education cost. We all know that if our children's future remains unpromising, so would be that of the nation. (Source: China Daily)

Tuesday, June 28, 2005

$$Who Want$ to be God’$ Millionaire$?

BEBERAPA WAKTU yang lalu, headline mingguan BRW (Business Review Weekly) di Australia sempat mengangkat topik utama yang amat eye-catching sekaligus menimbulkan perasaan miris di hati banyak orang Kristen: God's Millionaires. Mungkin yang dibahas adalah para Australian businessman yang beragama Kristen? Oh sama sekali bukan. Bagian ini mengulas hal ikhwal pertumbuhan gereja-gereja Pentakosta yang mengalami perkembangan amat pesat dan dikelola persis seperti commercial company menjalankan bisnis mereka. Bedanya, corporations wajib membayar pajak, sedangkan yang ini bebas pajak karena mengaku sebagai not-for-profit religious organisations.

Karena BRW majalah bisnis, maka berita yang disorot tentulah seluk beluk bisnis yang terlibat di dalamnya. BRW mencatat gereja terbesar dalam aliran ini memiliki 18.000 anggota dengan perputaran dana tahun lalu sekitar AUD 40 juta. Salah satu gereja bercita-cita membuka 1.000 cabang dengan rata-rata kehadiran 500 orang pada tahun 2020. Tidak heran dalam kurun lima tahun (1996-2001), jumlah kehadiran jemaat Pentakosta melesat 30% menjadi hampir 200.000 orang per minggunya menempati peringkat runner-up di bawah gereja Katolik yang turun 13% dalam periode yang sama. Menurut statistik dari NCLS, setiap empat hari satu gereja baru dari aliran ini didirikan. Bahkan mereka pun sudah merambah ke panggung politik dengan mendirikan parpol sendiri, Family First Party, yang berhasil meraih satu kursi senat pada federal election 2004 yang lalu.

Ini semua tentu sah-sah saja, bahkan ada yang berkomentar apa salahnya mematok target ini dan itu? (Toh mereka juga) memotivasi orang untuk mengabarkan Injil dan membawa orang kepada Kristus. Memang tidak salah dan sedikit pun saya (kita) tidak merasa iri melihat rumput tetangga lebih hijau. Malah sebaliknya, apabila kita membaca lebih jauh dan mengetahui latar belakang teologis dari semua itu, maka sepatutnya kita merasa sedih dan gelisah menyaksikan pola perkembangan Kekristenan secara kuantitas ala Pentakosta (Karismatik) semacam itu.

Coba simak statement-statement berikut yang diucapkan oleh para pemimpin gereja aliran yang baru muncul di awal abad ke-20 ini sebagaimana dikutip oleh BRW:

  • "We are scratching where people are itching."
  • "The success of Pentacostalism can be attributed to offering a service that people want."
  • "Prosperity is definitely the result of applying God's Word to your life. It’s God’s will for you to prosper."
  • “Success is aligned with salvation and heaven, failure is aligned with sin and hell.”

Bahkan ada seorang istri pendeta yang membuat CD berjudul Kingdom Women Love Sex yang berisikan kiat memiliki kehidupan seks yang hebat sampai tips melangsingkan tubuh. Sungguh tidak dapat dimengerti mengapa ada begitu banyak orang kok mau-maunya beribadah di "gereja" seperti ini dan disuapi makanan rohani oleh pemimpin macam begini? Apakah memang ide bahwa kekayaan dan kesuksesan begitu mencengkeram pikiran mereka sehingga langsung setuju begitu sang pastor berseru di atas mimbar bahwa "Kalau you kaya, you sukses, itulah tandanya Tuhan berkenan kepadamu"? Apakah mereka tidak kemudian memikirkan antitesisnya: Jadi kalau aku hanya sedang-sedang saja, tidak kaya dan tidak miskin, berarti aku kurang berkenan kepada Allah? Apalagi yang miskin?? Berarti mereka sama sekali tidak berkenan kepada Allah donk? Ini ajaran dan logika yang 180 derajat berlawanan dengan ajaran Kristus yang mereka sembah (Mat 6:19-24, Luk 12:16-21; Mrk 10:16-25). Berarti para konglomerat, koruptor kelas kakap, CEO, Directors yang superduper wealthy itu semua dikenan oleh Tuhan (padahal jelas-jelas sudah jadi headlines berkali-kali di media massa karena memanipulasi pembukuan perusahaan yang mengakibatkan kebangkrutan total dan merugikan sekian banyak stakeholders)?

Bagaimana dengan orang-orang yang hidupnya susah, para hamba Tuhan yang setia melayani, orang biasa yang hidup jujur dan seumur hidup tidak pernah berkelebihan itu semua tidak mengasihi dan dikasihi Tuhan? Apakah para rasul maupun Yesus sendiri juga hidup nikmat dan berkelebihan? Meskipun demikian, harap jangan salah kaprah. Sama sekali bukan berarti orang Kristen tidak boleh kaya, tidak boleh hidup senang, dst. Justru sebaliknya, akan sangat memuliakan nama Tuhan apabila ada banyak orang Kristen yang sukses dan memanfaatkan pengaruh mereka melebarkan kerajaan Allah. Akan tetapi, sukses-kaya-sehat-cantik bukanlah tujuan utama mengikut Kristus karena kalau demikian maka berarti kita hanya ingin menjadikan Kristus sebagai alat pemuas keinginan kita, bukan sebagai Tuhan yang kita sembah dan agungkan.

Saya percaya bahwa menjadi Kristen pertama dan terutama berarti 'percaya dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang menebus dosa-dosa kita di atas kayu salib'. Tetapi apakah lantas berhenti di situ? Apakah kemudian kita mempunyai kebebasan sebebas-bebasnya menganut pengajaran lainnya yang cocok dengan apa yang kita mau hanya karena kita sudah "Kristen"? Iman Kristen tidaklah sesempit daun kelor, sebaliknya ia amat luas, limpah dan kaya yang perlu kita pelajari dan jalani yang juga esensial bagi pertumbuhan kerohanian yang sehat. Itulah mengapa kita mengikuti Katekese, beribadah di gereja setiap minggu, mendengarkan Firman yang benar dan bertanggung jawab yang memusatkan pemberitaan pada Injil yang sejati. Marilah kita belajar untuk ikut dapat mengawasi ajaran-ajaran yang kita terima dan berada di sekeliling kita, bukan untuk menghakimi melainkan agar sungguh kita dapat mempertanggungjawabkan fondasi iman yang kita ingin bangun dan jalani dalam kehidupan ini kelak di hadapan Sang Hakim itu sendiri.

Melalui tulisan ini, saya tidak hendak menyiratkan bahwa hanya ada satu gereja yang benar, NO! Sama sekali tidak karena kita harus jujur mengaku tidak ada gereja yang sempurna dalam segala aspek namun masih ada gereja yang menyampaikan Firman Tuhan dengan jujur dan setia seturut apa yang memang hendak diutarakan oleh para penulis Alkitab (meskipun kerap tidak sesuai dengan keinginan jemaat). Inilah yang terpenting, bukan asal mengambil ayat di luar konteks, tetapi dengan berhati-hati menggali benang merah kebenaran Firman secara komprehensif dari Kejadian hingga Wahyu, bukan partially. Kita beroleh anugerah keselamatan setelah Roh Kudus berkarya dalam hati kita dan kita beriman kepada Kristus. Rasul Paulus menulis: "Iman itu timbul dari pendengaran, pendengaran oleh Firman Kristus” (Roma 10:17) (EJ)

Referensi: BRW, May 26-June 1, 2005 dan National Church Life Survey (NCLS)

Sunday, May 01, 2005

The Great Singapore Sale


KATA ORANG rekreasi di Singapura itu cuma shopping.
Shopping dan shopping. Tapi itu betul, betul sekali,
Saudara.

Kalau Anda menelusuri sepanjang jalan-jalan utama
(shopping belt) dan beberapa area yg berdekatan dengan
MRT Station di sini, maka yang akan Anda temui adalah
mall, Mall, dan MALL.

Sepanjang tahun, surat kabar juga dipenuhi iklan-iklan
yg bernada sale, Sale, dan SALE. Sepertinya ada saja, entah itu
dept store, supermarket, outlet2 barang mewah, tempat hiburan,
restoran, hingga toko roti, yg menyajikan tawaran menggiurkan
sekian persen off dari harga biasa.
(In fact, kalau mereka selalu pasang harga diskon,
buat apa lagi harga normalnya?)

Belum lama ini Daimaru cuci gudang besar-besaran karena
memang sudah akan dilikuidasi, beberapa hari yg lalu Robinson
sudah menggelora dengan "The Sale Worth Waiting For".
Seolah tidak mau ketinggalan, dengan alasan merayakan
40th Anniversary, Carrefour pun menyeruak keluar
dengan SMS Contest dan iming2 Big Lucky Draw utk belanja
di atas $50.

Puncaknya, mulai 30 Mei nanti hingga 6 minggu berikutnya,
adalah *The Great Singapore Sale* yg berlaku di semua
Mall dan stores di seantero Singapura.

Setelah epidemi SARS mereda, program ini berjalan
begitu 'just nice' (istilah orang Singapore utk "pas")
seiring dengan kampanye *Step Out Singapore!*
yg dilancarkan Govt untuk mendorong warganya keluar
dan menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah.

Tujuannya ada dua. Agar Singaporeans bisa menyembuhkan
trauma atas SARS dan untuk mendorong perekonomian
yg sudah melesu cukup lama supaya kembali bergairah.

Ya, memang perekonomian suatu negara akan kembali bergairah
dan berkembang apabila tingkat konsumsi masyarakat meningkat.
Gembar-gembor shopping dan sale di Singapura terbukti
tidak sia-sia melihat kenyataan bahwa perekonomian
kota Singa ini bertumbuh 2% utk tiga bulan pertama tahun 2003.

Dulu kita belajar di SMP/SMA bahwa Perekonomian
Negara merupakan perputaran uang dan barang/jasa antara
Rumah Tangga Konsumen, Rumah Tangga Produsen, dan Pemerintah
sebagai Regulator. Hal ini paling sering digambarkan
secara sederhana dalam bagan sbb:

RTK ------Rp/$----------> RTP
RTK <---Barang/Jasa----- RTP

Bagaimana reaksi Anda kalau saya mengatakan bagan itu salah atau bisa 'menyesatkan'? ........... Baru belakangan ini saja saya terpikir dan menyadari bahwa bagan RTK & RTP itu seharusnya seperti ini:

Rp <-----------> Jasa
^ ^
| RTK = RTP |
V V
Barang <-------> $$$

Kita semua adalah konsumen sekaligus produsen.
Tidak mungkin suatu negara terpecah menjadi
dua kelompok masyarakat dimana yg satu hanya
bisa mengkonsumsi, dan yg lain melayani
sebagai produsen dan menghasilkan barang dan jasa
untuk kelompok konsumen.

Mengapa saya katakan bagan yg pertama dapat
misleading? Karena kecenderungan kita setelah melihat
sekilas bagan itu, kita akan menempatkan diri (mindset)
pada posisi Konsumen. Kita berpikir bahwa setiap bulan
harus belanja ini, belanja itu, bayar ini, bayar itu.

Sebut dari yang paling dasar: Mee goreng, kemeja
lengan panjang, sepatu, iuran telepon, ongkos
bus/MRT, aksesoris komputer, olah raga Volley Pantai
di Sentosa, ...
Terus menerus tak habis-habisnya saya menjadi konsumen
dan mengkonsumsi sesuatu.

Namun suatu hari, Saudara, terpikir oleh saya bahwa
Uncle Woo penjual Mee Goreng di warung bawah juga
membutuhkan sepatu dari Toko Sepatu.
Pemilik Toko Sepatu itu mungkin membeli baju dari outlet
yg ada di Mall tempatnya berusaha.

Pemilik outlet busana ternama itu pun harus membayar
tagihan telepon setiap bulannya kpd SingTel.
Kemudian SingTel pun pasti membayar gaji bulanan
dengan setia kepada para karyawannya yg menggunakan
sebagian dari uangnya untuk menikmati lunch
Mee Goreng di warung si Uncle Woo tadi.

Jadi kita lihat di sini bahwa hanya pada satu saat
seseorang menjadi konsumen dengan mengkonsumsi sesuatu,
tetapi pada saat lain ia sendiri pun memproduksi sesuatu
dan menjadi produsen bagi orang lain.

Dari bagan kedua di atas, nampak lebih nyata bahwa
setiap orang dalam Rumah Tangga Negara adalah
Konsumen SEKALIGUS Produsen dimana Rp, Services,
$$$, & Goods berputar-putar di sekelilingnya.

Semakin aktif individu-individu yg ada di dalamnya
berproduksi dan meningkatkan produktivitasnya,
maka otomatis semakin membesar pula daya beli
atau tingkat konsumsi yg dapat dilakukannya,
semakin cepat uang berputar, dan semakin
bergairah perekonomian negara itu.

Pertanyaannya adalah apakah kita sudah bisa disebut
sebagai produsen yg aktif dan memproduksi sesuatu,
entah barang/jasa, untuk orang lain, dan bukan
melulu menjadi konsumen untuk shopping, shopping,
dan ...?

Ssstt, tadi teman saya bilang ada diskon 50%
selama bulan Mei & Juni ini utk semua atraksi
di Sentosa. Cuma bulan Mei & Juni aja loh...

EJ - Singapura, Mei 2003

Tuesday, April 05, 2005

On the Eve of Good Friday


"And according to the Law, one may almost say, all things are cleansed with blood, and without shedding of blood there is no forgiveness." (Hebrew 9:22)

HAVE you ever had a second thought on why Jesus needs to die on the Cross and shed His holy blood to wash away our sins?

The answer is found in the Bible. Please read the above verse.

Without shedding of blood, there is no forgiveness. So whose blood should be shed? Human blood? No, it can’t because it is impossible to redeem human's sins with blood of his own which is of equal value.

In the Old Testament times, people sacrifice animals for their sin redemption. Was it actually proper? Not either. They did realise that blood of animals they sacrificed was even of lower value than their own human blood but they had no other choice but did so since the Messiah (Savior) they were expecting had not come in their times.

Now that the true Messiah has come in the Person named Jesus Christ (because He is alone fully man and fully GOD) and has shed His invaluable blood on the Cross, we have the privilege to look at His glorious Cross, trust in His redeeming our indelible sins, and receive Him as our only Savior & living God.

Why should we also receive Him as God & Savior? Because after He died on the Cross due to the indescribable physical & mental sufferings being crucified in such a lowly manner, He did resurrect from death on the third day and rise to heaven 50 days after that, and lives until now. This fact, nobody can deny as this is inscribed in history.

Throughout the history, has there been any person other than Jesus risen again after death, I mean real death? Nobody else. Why? Because all other persons are just fully human, while Jesus is fully human and fully God. Is there anything impossible for God to do? That's why resurrection was possible and it did happen.

Sounds illogical? Perhaps, to those who may still hesitate His being God as well. How do we know that Jesus was God too? He never sinned in His life. If there were sin ever committed by Him, what? Nothing. Nobody as far as history is told can show His having ever sinned or done mistake in His 33-year life on this earth. There's nothing wrong with Him.

The wrong thing simply lies in our self, our thoughts, our deeds ... because all of us have sinned. Contrarily to the above challenge to showing what Jesus' sin/fault was, now who among us and every human being ever lived on this earth (including all other religion founders and great thinkers) has never sinned or done wrong during their lives?

To keep it simple, how many sorry's you would utter to a number of people in one day has plainly demonstrated that we humans are never detached from mistakes, faults, errors, wrongs, or any other synonyms you can mention which are all embodied in one evil word: sin – regardless of how tiny it may be.

The bottom line is: H-G-S.

H> Who has ever sinned?
All persons in past, present, & future times with only human nature.

G> Who has never sinned?
A Person with human nature and Godly nature, named Jesus, lived around 2BC - 29AD.

S> The solution to dealing with the forgiveness of sins?
H should meet G because G has firstly initiated and offered the forgiveness of H's sins through His most beloved Son, Jesus Christ's death and shedding His unlimited-value blood to H who believes.

And not only forgiveness, for those who believe and receive Him, for them is also granted an eternal life, together with God forever and ever.

Christianity is that simple. (EJ)

Wednesday, February 02, 2005

Adegan Kehidupan


Fajar di ufuk timur merah merekah
Kereta pagi ini dipadati pencari nafkah
Menuju harap mengais berkah
Meski hanya seberkas cercah



EJ - Sydney, 26 Jan 05

Sunday, January 23, 2005

antara singapura dan jakarta



kutapaki masuk tahun yang baru
berjuta rasa menggemuruh dalam dada
mekar seribu bunga menerpa ruang bayangku
di antara hamparan cinta dan cita

di hari ulang tahunku ini
kuraih permata dambaan hati
puteri impian di ujung negeri
masihkah ada yang kuingini???


Kayu Timur, 23 Jan 05


Catatan:
Puisi ini khusus daku persembahkan utk seorang sobat di Jakarta dan kekasihnya di Singapura.