Sunday, December 30, 2007

from Christelle to Christmas

Just sharing some of God-given most beautiful moments
towards the end of this year.....

from her five weeks to
the first Christmas she's had with us.......



--
Just because you cannot see God doesn't mean He is not there.
But, of course, simply because He descended upon the earth in the form of man
does mean Christmas is real and it is for all of us, you and me.
--
Selamat menjelang detik-detik
pergantian tahun menuju 2008
--
Emil, Lia, & Christelle
30 December 2007

Monday, October 29, 2007

Adegan Kehidupan - Christelle Jayaputra

Adegan Kehidupan

Sesosok raga tergolek rebah lemah
disayat jerit napas suara erangan
meniti perih pedih nan memerah
hayati hadirnya citra Pembri k'hidupan.

(E-Jay & Associates - (C) 2007)


Atas Anugerah dan Kasih Tuhan dalam Kristus, telah lahir Christelle Jayaputra pada hari ini. Ibu dan anak dalam keadaan baik.

Banyak terima kasih untuk perhatian & dukungan doa Saudara & sobat-sobat semua.

Salam,
Emil & Natalia
Sydney, Oktober 2007

Friday, September 14, 2007

Researcher or Writer?

Researcher itu meneliti suatu objek dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yg relevan, membaca sebanyak mungkin bacaan, melakukan analisis, dst untuk kemudian dapat menulis sesuatu berdasarkan kesimpulan yg diperoleh.

Sedangkan writer itu justru sebaliknya, ia menulis segala sesuatu yg secara "original" keluar dari pemikirannya tanpa terlebih dahulu ingin tercemar oleh sumber-sumber luar yg dapat memengaruhi pemikiran "original"nya dan bahkan kemungkinan mengandung ide-ide yg mirip dengan pemikiran "original"nya tersebut.

****

Seorang kuno yg amat bijak pernah bersabda dalam bukunya: Di bawah langit, untuk segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa. Ada waktu untuk melempar batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu. Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk.

Nah, kalau boleh saya ingin menambahkan: Ada waktu utk membaca buku, ada waktu untuk menahan diri dari membaca buku. Lah, pada "waktu" apa saya menahan diri dari membaca buku? Pada saat menjadi writer! Pada saat cairan tinta di dada itu begitu penuh sehingga Anda tidak dapat menahannya di dalam sehingga tumpah ke atas kertas itulah, Anda sedang menjadi writer. Writing something. Tepat pada saat itulah Anda tidak ingin terusik oleh keberadaan dunia luar dan ingin sesegera mungkin memuncratkan ide-ide "original" Anda dalam keadaannya nan terutuh dan termurni.

In fact, bukan pada detik Anda sedang dalam proses menulis saja Anda menahan diri dari membaca buku. Bahkan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan otak belum menginstruksikan dada untuk memproduksi tinta tulis itu, selama itu pula naluri kepenulisan Anda akan tetap menahan diri dari membaca buku lain dengan topik yg sama atau mirip dengan apa yg ingin Anda curahkan ke atas kertas. (Emil Jayaputra)

PS: "Original" di atas sengaja ditulis di antara tanda kutip karena seorisinil-orisinilnya idea seorang writer, highly unlikely bahwa itu merupakan hasil pemikirannya sendiri murni 100%. Latar belakang, pengalaman hidup, exposure to some situations, enyaman ilmu dari dunia akademis, figur favorit, hobi, lingkungan pergaulan, dan banyak sekali faktor lain semua ikut memengaruhi idea seorang writer. So, it is equally unlikely too that all those sources (or every single event in his/her life) should be mentioned in their writing as "references" since they are not really a reference that would commonly be expected to be cited in the world of writing. Kemampuan memadukan segala sesuatunya itulah sebetulnya yg merupakan the original idea dari sang penulis.

Friday, August 31, 2007

Belajar menjadi Pembelajar

TAK diragukan lagi, elemen yg paling krusial dan ultimat yg pasti dan harus dialami oleh setiap manusia adalah belajar. Sejak lahir hingga bertumbuh menjadi insan yg dewasa, seseorang terus belajar. Bahkan tanpa belajar, ia tidak akan survive. Belajar merangkak, belajar berdiri, belajar mengenali angka, belajar ke sekolah sendiri, belajar berelasi dgn sesama, belajar mencari nafkah, belajar mandiri, dan seterusnya tak habis-habis.

Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, tipe-tipe belajar seperti di atas sudah tidak memadai lagi. Manusia perlu menetapkan diri menjadi "pembelajar" untuk naik tingkat lebih tinggi. Karakteristik pembelajar yg lebih istimewa dan spesifik seperti apa lagi yg perlu pula di-embrace oleh setiap pribadi?

Berikut ini beberapa poin yg belum lengkap dan masih akan terus bertambah seiring dengan proses pembelajaran yg juga masih dan terus berlangsung dalam diri penulis. Daftar ini akan terus diperbarui, jadi silakan terus kunjungi blog ini dari waktu ke waktu.


* Belajar dari siapa pun dan apa pun (new)
At first glance, ini hal yg paling mudah diucapkan siapa pun. Kalau ditanya, mungkin sebagian besar orang tidak keberatan mengangguk: "Ya, why not?". Tapi apakah benar kita mau belajar dari siapa pun termasuk dari mereka yg jelas-jelas 'berseberangan' dengan kita baik secara pandangan maupun pemahaman yg paling hakiki yg menentukan keseluruhan hidup kita?

Belajar dari siapa pun sama sekali bukan hanya berarti mempelajari 'ilmu' yg mereka anut dan kuasai. Lebih dari itu. Seorang pembelajar juga akan bergembira apabila dapat menemukan benang merah dari apa yg ditemukannya dan berjalan bersama proses pembelajaran itu karena pihak lain telah ikut memperkaya hidup dan menambah nilai cakrawala pemikirannya.

Sayangnya, kerap kali kita kehilangan atau melewati tahap yg sangat bermakna ini akibat satu rintangan besar yg terus dan terus menghambat perjalanan kita sebagai pembelajar. Sikap kritis yg berlebihan. Bersikap kritis adalah penting, sangat perlu, bahkan juga merupakan salah satu unsur penting yg membuat 'pembelajar' [Akan ditambahkan kemudian]. Akan tetapi, mengkritisi segala sesuatu hingga seolah-olah tidak ada suatu pun yg bisa berlalu di depan mata tanpa saya kritisi adalah tindakan yg bukan saja tidak perlu, tapi juga jauh dari prinsip mangkus dan sangkil. Bagaikan menebar segenggam garam ke laut dan berharap air itu bisa lebih asin daripada sebelumnya.

At the end of the day, barulah kita menyadari bahwa kita ternyata hanyalah seorang pengkritik, bukan pembelajar. Bukankah lebih baik menjadi pembelajar yg mengkritisi daripada pengkritik yg mengeraskan pikiran dan secara substansi hanya menjadi pelajar, dan bukan pembelajar? Di sinilah bedanya membelajari (pembelajar) dari mempelajari (pelajar). Dalam bahasa Inggris memang perbedaan antara student dengan learner tidak sesolid dalam bahasa Indonesia karena learner dapat berarti pemula atau beginner. Namun, setelah saya pikirkan ulang ada juga nilai positifnya karena itu berarti seorang pembelajar senantiasa menempatkan dirinya pada posisi "lebih rendah" daripada orang atau sesuatu yg dia tempatkan "lebih tinggi" daripada dirinya untuk menerima pembelajaran itu. After all, tidak ada seorang murid yg belajar dari gurunya dalam posisi duduk yg lebih tinggi dengan muka memandang rendah ke arah pengajarnya.

Dari titik ini mengemuka unsur yg lain, yakni humility. Pada saat kita tahu pihak lain tidak memiliki pegangan yg lebih teguh daripada kita, amat sulit untuk belajar dari mereka (tentunya kalau ada sesuatu yg dapat dibelajari). Apalagi kalau pihak lain yg jelas-jelas bersalah. Kebesaran jiwa bukan hanya monopoli mereka yg telah mencapai kedewasaan penuh (maturity), tetapi juga mereka yg ingin belajar dari apa pun dan siapa pun.

* Belajar mengambil pelajaran
Berkaitan dengan poin sebelumnya, dalam setiap tahap hidupnya, seorang pembelajar kehidupan akan terus bertanya apa yg dia bisa pelajari (ambil pelajaran) dari peristiwa ini? Dari pengalaman bergaul dgn orang itu? Dari mengalami penyakit ini? Dari bekerja sama dgn berbagai tipe kepribadian manusia? [Akan dilengkapi kemudian.]

* Belajar menyukai keberagaman
Pembelajar menyenangi banyak hal dan senang akan variety. Mulai dari topik A hingga Z hampir semua dia sukai, paling tidak belajar untuk menyukainya. Menyukai tidak sama dengan menguasai. Apabila Anda berlatar belakang akuntansi, misalnya, Anda bisa saja amat tertarik dengan bidang marketing yg melibatkan kompetisi bisnis yg begitu seru dan menerapkan strategi perang Sun Tzu. Dari sini Anda jadi menggemari dunia militer terutama berbagai siasat dan taktik yg dipergunakan dalam perang-perang besar dalam sejarah. Tentunya seorang pembelajar juga akan mencoba menerapkan strategi-strategi tersebut untuk mengatasi masalah-masalah tertentu dalam kehidupannya. Menarik sekali, bukan?

Kemudian saat berkenalan dengan kawan yg berprofesi sebagai arsitek, Anda dapat berkomunikasi dalam bahasa arsitektur dan menggali banyak aspek soal bentuk berbagai bangunan dari kawan tersebut. Ketertarikan seseorang sebetulnya bisa mencakup apa saja: Sejarah, politik, ekonomi, environment, sastra, teologi, astronomi, bahkan sampai kepada kehidupan rakyat jelata yg mengerjakan the world's worst job seperti buruh pemecah batu di daerah tambang Pongkor di Gunung Putri Bogor yg sewaktu-waktu bisa longsor, penambang di daratan Tiongkok yg sampai harus memakan keping batu bara dan meminum air seninya sendiri utk menahan rasa lapar dan haus ketika terperangkap dan terkurung berhari-hari di dalam gua pertambangan. Minat akan sesuatu memang tidak akan bermanfaat apa pun apabila tidak ditidaklanjuti oleh tindakan apa-apa. Tetapi ketiadaan minat jelas menjurus ke arah ketidaktahuan dan yg lebih parah ketidakpedulian (bahasa Inggris menggabung kedua istilah ini dalam satu kata dgn bagus "ignorance").

* Belajar secara otodidak
To a certain extent, seorang pembelajar tidak terlalu suka "dibantu", bukan karena ingin accomplish semuanya sendiri tapi kalau terlalu banyak dibantu, di-supervise, ditopang, dijaga maka tidak banyak yg dapat ia pelajari (dengan melakukan kesalahan). Hal ini berlaku mulai dari dunia anak, bangku sekolah, hingga dunia kerja. Di dunia kerja Anda cukup beruntung kalau memiliki seorang supervisor yg sekaligus bisa menjadi mentor dalam menghadapi berbagai masalah. Any problem, bisa langsung tanya ke dia. To a certain extent, hal ini sangat memudahkan pekerjaan dan Anda bisa belajar lebih cepat karena bisa menghindari kesalahan-kesalahan yg tidak perlu dilakukan.

Di pihak lain, jika Anda terlalu bergantung kepada sang mentor, atau penyelia Anda terlalu mengawasi pekerjaan Anda karena ia begitu kuatir Anda melakukan kesalahan, Anda tidak bisa menjadi 'pembelajar' yg saya maksud di atas. Anda menjadi segan untuk beruji coba karena takut salah atau tidak mau menanggung risiko. Kecuali memang risiko yg ditanggung amat berbahaya, setiap kita idealnya lebih menyukai "tantangan" utk mempelajari pekerjaan itu sendiri. Seuntai pepatah dengan sangat tepat berujar: "A man becomes learned by making mistakes."

* Belajar itu tak terpuaskan
Belajar itu ada unsur kecanduannya, meskipun ini candu yg positif. Semakin banyak Anda belajar, semakin Anda sadar bahwa semakin banyak yg Anda masih perlu pelajari. Kalau tidak salah ingat, pertama kali saya mendengar kalimat ini dari guru matematika SMP saya yg paling yahud. Tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari. Belajar sedikit dalam sehari berarti Anda tetap di tempat. Jadi bayangkan betapa jauhnya ketertinggalan kita apabila tidak belajar selama berminggu-minggu. Puncaknya, esensi kehidupan akan terhenti sama sekali kalau kita memutuskan tidak mau belajar lagi.

* Belajar berpikir di luar kotak
Istilah thinking out of the box sudah sering dikemukakan dan dibahas. Yang saya maksud di sini adalah seseorang yg sudah belajar dan menguasai spesialisasi tertentu begitu luas dan mendalam, namun mampu (atau mau) "melepaskan" dirinya dari seantero pengetahuan & pengalaman yg berada dalam otaknya dan mencoba melihat keadaan dari sudut pandang orang lain.

Contoh mudah berpikir di luar kotak: Seorang karyawan yg bisa berpikir seperti empunya bisnis perusahaan sehingga ia mampu berprestasi dan menghasilkan terobosan-terobosan kreatif di luar dari job description normalnya. Seorang businessman yg mau berempati dan menaruh dirinya dalam sepatu karyawan untuk setiap keputusannya sehingga ia dihormati bahkan disayangi oleh anak buahnya. Seorang rohaniwan yg mampu melihat masalah dari kacamata orang awam sehingga ia juga dapat berbicara dan menulis dalam "bahasa umat" dan bukan melulu "bahasa imam".

Mungkin tipe pembelajaran "out of the box" ini lebih mudah dikerjakan oleh mereka yg tidak memiliki keahlian di suatu bidang (specialist), tetapi mengerti sedikit mengenai banyak hal (generalist).

Challenge-nya adalah bagaimana menjadi generalist dengan latar belakang sebagai specialist. Untuk menjadi generalist, seorang pembelajar perlu menyukai banyak hal (Lihat poin "Belajar Menyukai Keberagaman" di atas). Sebagaimana saya sebutkan di atas, menyukai tidak sama dengan menguasai. Tidak mungkin kita bisa menguasai spesialisasi di banyak bidang, apalagi semua bidang. Dalam cerita2 dongeng dewa-dewi juga terspesialisasi: Ada dewa hujan, dewa matahari, dewa sungai, dewi padi, dewa dapur, dewa perang, dst. Hanya Tuhan Sang Pencipta saja yg menguasai semua spesialisasi di segala bidang dalam kehidupan ini karena memang Dia yg menciptakan segala sesuatu dan tanpa Dia tidak ada apa pun yg jadi dari segala yg telah dijadikan.

So, Manusia Pembelajar! Kita perlu realistis dan cukup berpuas dengan menjadi spesialist di sedikit bidang, namun sekaligus generalist di banyak bidang sehingga memperkaya kehidupan kita seraya mengakui Siapa Empunya Ultimat segala ilmu dan pengetahuan yg begitu melimpah dan tak terkatakan itu.

--
Salam pembelajar,
EJ
[Tulisan ini akan terus di-update dan mungkin tidak akan pernah final seiring proses pembelajaran yg seumur hidup. So, please keep coming back.]

Sumber: dari berbagai sumber selama hidup

Friday, August 24, 2007

Pembelajar yang berbeban

Di suatu malam yang penat, aku mengirimkan pesan kepada seorang sobat memintanya berdoa bagiku untuk menghadapi hari esok. Ia mengingatkan akan sebuah lagu yg berbunyi: "... 'ku berjuang sampai akhirnya Kau dapati aku tetap setia."

Aku tidak tahu lagu itu, tapi aku merasakan getarannya saat itu dan berucap lirih "...'ku terus berjuang sampai akhirnya Kau dapati ku tetap setia." Mungkin perjalananku masih panjang. Pastilah aku pun tidak tanpa cela. Namun ku mau beriman, Tuhan yang tahu isi hatiku. Sebagaimana Dia yg menenunku dalam kandungan mamaku dan menuntunku hingga mampu berdiri sendiri, Dia tahu segala kalimatku sebelum bibirku memperkatakannya atau jariku memukul tuts-tuts papan bidai ini.

Selidiki aku, lihat hatiku
Kau yang Mahatahu dan menilai hidupku
tak ada yang tersembunyi bagi-Mu.....

-pembelajar-

Tuesday, July 17, 2007

Power and leadership

POWERFUL is a good adjective. Leaders who are powerful are more likely than not to be effective. Leaders with too much power, unfortunately, are more often than not absolute in their actions with little concern of his advisers even his own true friends. They tend to turn agreed decisions on its ear, thus perceived to be abusive, self-centered, and high alone in the air. These leaders are only bound to plant seeds of hatred in the hearts of his own people who will eventually rid him of his self-accumulating excessive power.

Interestingly, the opposite situation could result in similar horrible outcome despite perhaps in a more subtle fashion. Given the same amount of power, a leader unwilling or unable to use his power is also doomed to be fruitless and engender unwanted split of power in pieces spread all over the place causing endless mayhem. These leaders are bound to plant seeds of distrust in the minds of his people. They are usually a convoluted type of person with reduced peace at sleep due to discreet conflicts of interest undisclosed to his people. Another "besotted" type is simply someone overly humble who tends to be submissive to the board in most areas of decision which would otherwise be just within the given circle of power that he unnecessarily, or worse, unconsciously gives up in the name of democracy or "votes in majority".

Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, shoots the pungent Lord Acton in his dictum to the Roman Catholic Bishop Mandell Creighton in 1887. But power that is unused and squandered tends to create a weak leader. And weak leadership is nearly equivalent to no leadership at all. And no leadership brings complete chaos in the society.

Your mission, Jim, should you decide to accept it, is to strike a reasonable balance between too much & too little in each role that you assume in your "society". Oh no, this is of course not the self-destroying recording machine that assigns our cherished Mission Impossible team their next mission. But the challenging mission remains ours. Yours and mine. (EJ)

Thursday, July 12, 2007

Dare to be different

Some people (particularly from Indo, I must regretfully admit) are just not used to being divergent in terms of opinion. It is normal for two persons in a physical meeting to be poles apart in an issue. This is fine because they can sort out the difference straight on the spot.

Alas, in a virtual meeting done via email trade, there's a good chance of A's question being not answered by B or anyone else and it is simply ignored like it was never asked at all. I can't understand the logic behind this. If silence is meant to be 'yes', it might still be acceptable. But when B is unresponsive to A's statement because B disagreed with it, why not voice it out? Why dare not be different? Is it, perhaps, due to sungkan? (sungkan = an Indonesian adjective --allegedly originating from Javanese culture-- where someone appears bashful to the extent of timorous in the face of words or action of someone else)

Regardless of the motive, not only is it unethical to pay no heed to someone's opinion, it does actually lead the whole team attending the meeting to an uncertain position as to what the final decision of the topic being discussed would be. As one put it very well, discussion without conclusion is confusion. I can't agree more with it. (EJ)

Tuesday, July 10, 2007

Truth & Relationship

Those who are courageous enough to confront should also be courageous enough to forgive and/or ask for forgiveness. What matters is that the truth has been said and set. Afterwards why not let life move on naturally like the water braves through the rocks and continues flowing on. Sadly, though, those with the courage to cope with confronting or being confronted are not generous or sincere enough with forgiveness, and some others are even worse being gutless to confront any way. And the corollary of that is they are not prepared to forgive or offer forgiveness. (EJ)

Daily Meditation (Henri Nouwen)

How Time Heals "Time heals," people often say. This is not true when it means that we will eventually forget the wounds inflicted on us and be able to live on as if nothing happened. That is not really healing; it is simply ignoring reality. But when the expression "time heals" means that faithfulness in a difficult relationship can lead us to a deeper understanding of the ways we have hurt each other, then there is much truth in it. "Time heals" implies not passively waiting but actively working with our pain and trusting in the possibility of forgiveness and reconciliation.

Friday, June 29, 2007

Sensus yang bukan desas-desus


PETANG tadi dalam perjalanan pulang di kereta, seorang pendeta di Jakarta menggetarkan saku kiri saya dengan pesan:
"Hari ini pemerintah Aussie declare bahwa Christianity di sini menurun hebat, walaupun penduduk bertambah. Bagaimana gerejamu? Mampu berperan lebih besar??? Perlu suatu keberanian melangkah dgn iman!"

Short message itu langsung aku balas: "I'm not surprised with the census result. Church? A bit hopeless. We seem to be too family-oriented with no strong will to learn & discuss global issues. I feel lonely here."

Memang benar, menurut hasil Sensus Penduduk Australia yg digelar serentak pada 8 Agustus 2006 yg lalu, Australia sekarang sudah bukan Australia satu dasawarsa sebelumnya. Saat ini Australians dapat berkata: "We are now earning more (due to strong economic growth), growing older, but also becoming less devout." Less devout karena persentase penduduk yg mengaku no faith meningkat cukup tajam (2%) menjadi hampir 19% dari 20 juta penduduk per tanggal sensus. Sementara penduduk yg mengaku berada dalam golongan Christianity menurun 7% atau hanya mengalami pertambahan 103,072 jiwa selama kurun 1996-2006.

Akan tetapi, tanggapanku terhadap SMS sang pendeta bukanlah hanya mencerminkan gerejaku secara sempit, tetapi juga mencakup komunitas gereja Indonesia di Sydney, bahkan secara general komunitas masyarakat Nasrani di kota dan negara ini. Apabila umat Kristen hanya terkungkung dalam pergerakan seputar batas-batas yg kelihatan saja on daily basis, maka sangatlah tidak mengejutkan apabila grafik kekristenan cenderung menurun (dari 71% menjadi 64%, sudah termasuk Roma Katolik) di negara kanguru ini, sedangkan kaum no religion melonjak sebanyak 757,667 manusia dan umat nonKristen (sebagai agama alternatif) berkembang at a double rate semenjak 10 tahun terakhir ini.

Ketika aku menyuarakan istilah "family-oriented" dengan nada yg kurang positif di atas, itu bukan berarti berorientasi kepada keluarga adalah buruk. Sama sekali tidak, bahkan jauh lebih baik menghabiskan quality time bersama keluarga sebanyak mungkin daripada menjadi workaholic di kantor atau plesiran di Star City, minum-minum di bar, dsb. Masalahnya adalah keterbelengguan orang Kristen dalam mengurus rumah tangga, anak-anak, dan pekerjaan sering kali membawa mereka ke dalam ketidakmungkinan utk ikut memikirkan, peduli, dan peka terhadap issue-issue global & kekristenan yg sedang terjadi dan berubah di sekitar mereka.

Susahnya, ketika diingatkan, banyak yg malah tersinggung atau dengan enteng menyatakan: "Hmm, kamu belom ngerasain sih yah (punya anak)." "Wah, kamu punya banyak waktu ya bikin ini itu. (Mengirim artikel/tulisan via email, membaca buku, menulis.) Nanti kalo sudah punya anak, udah nggak bisa deh!" Secara umum, komentar-komentar seperti itu ada benarnya. Sedikit. Tapi salahnya jauh lebih besar atau lebih tepat tidak jujur. Mari kita analisis pemikiran mereka dengan pernyataan seperti itu:

1. Mari tanyakan: Apakah sebelum punya anak, mereka cukup peduli terhadap issue-issue di luar diri & keluarga mereka? Lebih jauh ke belakang, apakah saat masih single, mereka sudah cukup banyak membaca buku, bahkan menulis sehingga saat ini merasa tidak perlu lagi membaca buku?

(Ini ada kliping bagus dari Suara Pembaruan mengenai Kris Dayanti dan sumber inspirasinya yg patut dibaca oleh para papa dan mama yg merasa diri terlalu sibuk membaca buku.)

2. Kerap kali orang seperti saya dicap sombong dalam kerohanian akibat dari usaha-usaha personal membangkitkan kesadaran mereka, tetapi coba kita pikirkan lebih mendalam dan jujur: Sebetulnya siapa yg angkuh dan merasa diri sudah pandai? Apakah mereka yg merasa diri lebih tua, sudah berkeluarga, sudah punya anak istri, sudah lebih matang dalam kepribadian & berpengalaman dalam hidup, lalu tidak merasa perlu lagi belajar (meskipun dengan topeng alasan "tidak punya waktu"), atau saya yg bertekad terus belajar dengan cara apa pun meskipun nanti sudah punya anak & tanggungan yg lebih banyak (meskipun saya sadar waktu yg dialokasikan untuk ini tidak akan bisa sebanyak sekarang)?

Sangat disayangkan, manusia modern bahkan postmodern hanya melihat bentuk (yg kelihatan), tetapi tidak mampu melihat esensi (yg tidak kelihatan) persoalan sesungguhnya --tercermin dari selorohan tak berdasar seperti di atas (yg mungkin pula hanya excuse yg tidak jujur padahal aslinya memang malas.) Termasuk urusan agama atau kepercayaan. Orang modern dengan tingkat pendidikannya yg tinggi hanya mampu melihat hal-hal dengan rasio mereka yg diasah dan dipertajam secara kontinu dari primary school hingga university. Di pihak lain, pembelajaran agama yg benar semakin dibatasi di sekolah-sekolah. Akibatnya ya, mudah diduga, banyak yg beropini bahwa faith itu tidak rasional karena tidak dapat diukur (oleh science) dan Tuhan itu tidak kasat mata.

Pemerintah pun seolah mendukung perjuangan ke arah godless society dengan mengizinkan riset-riset ilmiah di bidang cloning (demi alasan penyembuhan lebih banyak penyakit), melebarkan ruang bagi tuntutan persamaan hak kaum sesama jenis (dengan alasan HAM), dan issue-issue sensitif lainnya yg baru bisa kita lihat tingkat kedalaman keseriusan dan parahnya hasil sensus ini apabila kita bersedia sesekali melongok ke luar batas-batas dinding rumah dan belajar peduli terhadap lingkungan yg nantinya toh akan memengaruhi kehidupan dan gaya hidup anak-anak kita. "Melongok ke luar" saja tentu tidak cukup berarti browsing di situs-situs Internet & scanning judul berita-berita penting, melainkan usaha untuk terlibat dalam suatu forum diskusi yg bermakna dengan sesama anak Tuhan lainnya. Paling praktis di gereja karena bisa ketemu setiap minggu. Bukan cuma ngobrolin soal kerjaan, anak, makanan, dan basa-basi sana-sini ala kadarnya yg tidak membawa manfaat jangka panjang apa-apa.

Semoga kita tidak mau diibaratkan sebagai katak yg ditaruh di dalam ember berisi air hangat. Lalu temperatur air dinaikkan sedikit demi sedikit secara perlahan hingga sang katak mati mendidih akibat tidak sadar sudah terlalu lama keenakan berenang-renang dalam kenyamanan air hangat. Apabila kita masih belum mau "bangkit" juga, jangan heran kalau sensus serupa diadakan 10 tahun lagi, situasinya jauh lebih mengecewakan daripada saat ini dan sudah terlambat utk memperbaiki keadaan karena kita lebih suka berdesas-desus daripada menyimak dan mengupas data sensus. ( EJ - 29 June 07)

Sunday, May 20, 2007

Krisdayanti & Sumber Inspirasinya

Apakah kita lebih sibuk daripada seorang diva sekelas Krisdayanti???

Krisdayanti: Buku Sumber Inspirasiku

SP/Yumelda Chaniago - Krisdayanti

BUKU, bagi seorang Krisdayanti, merupakan sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan. Dari buku-buku atau bahan bacaan lain yang dibacanya, Yanti demikian penyanyi, bintang iklan, pemain sinetron dan film ini disapa, bisa menggali banyak informasi, khususnya tentang kehidupan, dan perempuan yang sangat menarik perhatiannya.

Di antara buku-buku tentang perempuan yang dikoleksinya, Diva yang populer dengan inisial huruf KD ini mengaku sangat tertarik membaca buku yang bertema tentang prespektif perempuan serta spiritual seorang perempuan.

"Aku banyak membeli buku tentang diva, karena diva itu 'kan artinya perempuan atau diartikan sebagai perempuan secara umum. Dari buku-buku itu aku jadi mengerti bagaimana seharusnya memberikan penghargaan pada diri kita sebagai perempuan, dan bagaimana seharusnya menghargai tubuh kita, misalnya dengan beristirahat, dan sebagainya," ungkapnya ketika ditemui SP di Jakarta, baru-baru ini.

Di tengah kesibukannya "menjalankan" perusahaan KD Productions (bergerak dibidang promotor, dan manajemen artis), KD Records (industri rekaman), KD Films (produksi film), dan KD Line (produsen kosmetik artis Sacred Goddess) bersama suaminya, Anang Hermansyah, ibu dari Titania Aurelie Nurhermansyah dan Azriel Akbar Hermansyah ini berusaha selalu meluangkan waktu untuk membaca minimal satu halaman dalam satu hari.

"Meski tak punya banyak waktu untuk membaca, tapi membaca selalu jadi bagian dari kegiatanku sehari-hari. Minimal dalam satu hari aku membaca satu halaman buku atau majalah dan lainnya," kata adik kandung dari penyanyi Yuni Shara ini.

Hobi membaca, kata Yanti, tak hanya menjadi miliknya, karena sang suami dan dua anak mereka juga punya hobi yang sama. Karena itu setiap ada waktu luang, Yanti sedapat mungkin berusaha mengajak anak-anaknya mengunjungi toko buku.

"Biasanya kalau ada kesempatan, kami mengunjungi toko buku yang besar untuk membeli banyak buku sebagai stok untuk dibaca selama beberapa waktu. Ketika di toko buku, kami semua berpencar ke rak-rak buku yang disukai. Begitu juga anak-anak, apalagi Aurel, dia paling senang kalau diajak ke toko buku ," urai perempuan kelahiran Batu, Jawa Timur, pada 24 Maret 1975 itu.

Tapi jika sedang tak punya banyak waktu luang, perempuan yang pernah menerbitkan buku tentangnya bertajuk Seribu Satu KD itu mengaku, memilih berbelanja buku lewat internet.

Yanti menyayangkan masih minimnya jumlah masyarakat Indonesia yang gemar membaca buku. Dia mengaku prihatin, karena sebagian dari masyarakat kita lebih suka menonton gosip daripada membaca .

"Padahal ketika saya ke luar negeri, misalnya ke Jepang, saya lihat masyarakat di sana hampir semuanya hobi membaca. Bahkan buku-buku di sana bentuknya kecil-kecil. Hal itu dikarenakan semakin sesaknya jumlah orang di sana, tapi keinginan mereka untuk membaca masih tetap besar. Sehingga meski harus berdesak-desakan di kereta, mereka tetap masih bisa leluasa membaca tanpa bukunya mengganggu orang di dekatnya ," ungkap Yanti.

Bepergian ke luar negeri, kata Yanti, kerap dia lakukan demi memenuhi undangan show menyanyi dan promo album barunya. Saat manggung di depan masyarakat Indonesia dan orang asing di negara-negara tersebut memberikan rasa bangga baginya. Kebanggaan yang sama, juga dia rasakan ketika jerih payahnya sebagai penyanyi mendapat berbagai penghargaan dari negara lain.

"Manggung di luar negeri memberikan rasa bangga yang luar biasa bagi saya, karena saat itu saya bisa menunjukkan keindahan lagu-lagu Indonesia pada bangsa lain," kata perempuan dengan berat tubuh 48 kilogram dan tinggi 165 cm itu.

Kesibukannya sebagai penyanyi, jelas Yanti, kian bertambah setelah dia mengeluarkan album terbarunya yang bertajuk Krisdayanti. Terlebih promosi album ini juga dibarengi dengan promosi produk kosmetik artis berlabel Sacred Goddess yang diproduksi perusahaan KD Line bekerja sama dengan produsen kosmetika, Profesional Artist Cosmetics (PAC) Martha Tilaar.

Lewat album bertajuk namanya itu, Yanti, mengaku ingin menunjukkan kematangannya sebagai seorang penyanyi setelah limabelas tahun berkiprah di dunia tarik suara. Dengan sikap ingin tampil apa adanya, sepuluh lagu yang terdapat dalam album ini pun dibuat sederhana, baik dalam hal bentuk, struktur, sampai aransemennya.

"Pada aransemen musiknya, lagu-lagu di album ini tak ada yang grande, tak ada yang ingin diberi kesan serba besar, juga tanpa string. Sejauh ini aku telah bekerja selama 15 tahun secara sungguh-sungguh. Pada saat ini, KD berada pada fase kematangan, aku ingin tampil apa adanya sebagai Krisdayanti," ujarnya.

Selain dibantu sang suami, ungkap Yanti, sejumlah musisi dan pencipta lagu juga ikut membantu dalam produksi album ini. Di antaranya Yovie Widianto, Anto Hoed dan Melly Goeslaw, Dewiq, dan Indra Lesmana. [Y-6]


Sumber: Suara Pembaruan, 20 Mei 2007