Showing posts with label Kliping. Show all posts
Showing posts with label Kliping. Show all posts

Sunday, August 12, 2012

The problem with comfort and success


Eyes To See

My first glimpse of the Promised Land from the hills of Moab was disappointing. "Did this look a lot different when the Israelites got here?" I asked our guide as we looked toward Jericho. I was expecting a dramatic contrast from the east side of the Jordan. "No," she answered. "It has looked the same for thousands of years."

I rephrased the question. "What did the Israelites see when they got here?" "The biggest oasis on the face of the whole earth," she replied.

Then I understood. I had ridden across the barren desert in the luxury of an air-conditioned bus stocked with cold bottled water. To me, an oasis was nothing spectacular. The Israelites had spent years wandering in a hot, dry desert. To them, the sprawling patch of pale green in the hazy distance meant refreshing, life-sustaining water. They were parched; I was refreshed. They were exhausted; I was rested. They had spent 40 years getting there; I had spent 4 hours.

Like an oasis, God's goodness is found in dry and difficult places. How often, I wonder, do we fail to see His goodness because our spiritual senses have been dulled by comfort. Sometimes God's gifts are seen more clearly when we are tired and thirsty. May we always thirst for Him (Psalm 143:6).

Dear Lord, may our desire for You be like that of
a deer panting for cold, refreshing water. Please
don't allow comfort or worldly success to keep us
from seeing You in every detail of our lives.
Jesus is the only fountain who can satisfy the thirsty soul.

Tuesday, April 28, 2009

World Book Day Indonesia 2009

Maylaffayza: Membaca untuk cinta

oleh : Rahmayulis Saleh

Untuk kedua kalinya Maylaffayza, violinist, didaulat sebagai Duta Buku World Book Day (WBD) Indonesia 2009. Tahun lalu dia juga dipilih oleh Forum Indonesia Membaca (FIM). "Saya sangat senang bisa terlibat dalam kegiatan membaca dan mencerdaskan masyarakat ini," ujarnya hari ini.

FIM sebagai penggagas perayaan hari buku dan literasi di Indonesia, tahun ini kembali mengadakan WBD Indonesia. Kegiatan yang berlangsung di Museum Bank Mandiri Jakarta, 23 April-17 Mei ini, akan dibuka oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.

Tema yang diangkat adalah Membaca untuk cinta yang mengedepankan cinta kasih, dan keakraban dalam keluarga.

"Pentingnya membaca di lingkungan keluarga tidak hanya membuat orang tua lebih pintar, tapi juga mengasah daya pikir anak untuk terus berkembang. Selain itu, adanya interaksi antara orang tua dan anak, tentu akan memupuk cinta kasih dalam keluarga," kata Maylaf, sapaan akrabnya.

Sebagai Duta Buku WBD, Maylaf akan mengkampanyekan kegiatan Membaca untuk cinta. Hal itu untuk mengingatkan masyarakat tentang kecintaan terhadap membaca, dan pentingnya berbagi kecintaan membaca kepada orang lain di sekitar.

Dia menuturkan kegiatan literasi harus ditanamkan sejak dini dan dimulai dari keluarga. Budaya ini diharapkan mampu membuat banyak orang mau melakukan perubahan dalam hidup melalui literasi.

"Berawal dari kebiasaan dalam keluarga yang kemudian dapat melahirkan generasi penerus, yang mampu melakukan perubahan untuk bangsa dan negara," ujarnya.

Dia mengakui adalah suatu kebanggaan ditunjuk jadi Duta Buku. Pada perayaan WBD Indonesia tahun lalu, Maylaf sudah terpilih sebagai salah satu Duta Buku.

Tahun ini, katanya, dia akan meningkatkan keterlibatannya untuk WBD Indonesia. Dia juga ikut berpartisipasi dalam aktifitas yang dilakukan oleh panitia, termasuk diantaranya ikut terlibat dalam pencarian sponsor bagi WBD Indonesia 2009.

"Artinya sebagai seorang Duta Buku, peran saya bukan hanya sebagai endorser, tapi sebagai advocate dari program ini. Sebab potensi program ini sangat besar dan berdampak positif bagi masyarakat," lanjutnya.

Dessy Sekar Astina selaku Direktur Festival dari WBD Indonesia 2009, mengatakan pengangkatan Maylaf sebagai Duta Buku WBD Indonesia tahun ini, melihat kontribusinya sebagai musisi yang peduli pada pendidikan.

"Figur Maylaf sesuai dalam merepresentasikan WBD, sebagai musisi yang suka membaca dan sadar teknologi. Hal ini merupakan penerapan secara tepat definisi literasi," tambah Sekar.

Pengenalan budaya literasi pada anak, kata Maylaf, dapat dilakukan secara sederhana. Misalnya dengan membacakan buku cerita pada anak, sehingga anak dapat mengerti alur cerita yang sederhana, dan menambah pengetahuannya tentang alam dan lingkungan sekitar.

Orangtua memegang peranan penting untuk mengajarkan anak tentang perilaku dan perasaannya sendiri, serta memberikan pemahaman kepada anak tentang bagaimana manusia sebagai mahluk sosial harus saling menghargai satu sama lain," jelas Maylaf. ***

Sumber: Bisnis Indonesia, 22/04/09

Saturday, September 20, 2008

Pembelajar Sejati

SEORANG PEMBELAJAR


Mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. —Lukas 2:46



Sebuah poster di suatu lorong gereja menggambarkan seorang anak lelaki yang memakai baju Timur Tengah, dengan Alkitab di tangannya, sedang mendaki sebuah bukit menuju ke gereja. Tulisan di poster itu berbunyi: "Yesus adalah bocah lelaki Kristen yang rajin ke Sekolah Minggu di setiap hari Minggu."

Sebagai seorang anak Yahudi, Yesus tidak pergi ke Sekolah Minggu dan ke gereja di hari Minggu. Jadi poster itu tidaklah tepat. Namun, poster itu tepat dalam menggambarkan kerinduan Yesus untuk berada di dalam rumah Bapa-Nya untuk mendengar semua ajaran-Nya.

Ketika Yesus berusia 12 tahun, Dia pergi bersama orangtua-Nya ke Yerusalem untuk merayakan Paskah (Luk. 2:41-42). Dalam perjalanan pulang, orangtua-Nya menyadari bahwa Yesus tidak pulang bersama mereka. Ketika kembali ke Yerusalem, "mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka" (ay.46).

Yesus memiliki hati seorang murid sekaligus pembelajar. Yesaya menulis tentang-Nya sebagai Hamba Yahweh: "Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku, untuk mendengar seperti seorang murid (baca: pembelajar -EJ). Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang" (50:4-5). Dalam kemanusiaan-Nya, Sang Putra terbuka untuk belajar dari Bapa-Nya.

Teladan Yesus menantang kita untuk menjadi pendengar firman Tuhan. Kita juga dapat menjadi murid sekaligus pembelajar, jika kita tetap membuka hati kepada pengajaran Allah. —Anne Cetas

Penuhi aku dengan pemahaman
Tentang kehendak-Mu yang mulia;
Kiranya seluruh sukacita dari-Mu
Kau penuhkan dalam diri anak-Mu. —Grimes

Tujuan utama dari belajar adalah mengenal Allah.

(TERJEMAHAN dari RBC Int'l English)

Sunday, May 20, 2007

Krisdayanti & Sumber Inspirasinya

Apakah kita lebih sibuk daripada seorang diva sekelas Krisdayanti???

Krisdayanti: Buku Sumber Inspirasiku

SP/Yumelda Chaniago - Krisdayanti

BUKU, bagi seorang Krisdayanti, merupakan sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan. Dari buku-buku atau bahan bacaan lain yang dibacanya, Yanti demikian penyanyi, bintang iklan, pemain sinetron dan film ini disapa, bisa menggali banyak informasi, khususnya tentang kehidupan, dan perempuan yang sangat menarik perhatiannya.

Di antara buku-buku tentang perempuan yang dikoleksinya, Diva yang populer dengan inisial huruf KD ini mengaku sangat tertarik membaca buku yang bertema tentang prespektif perempuan serta spiritual seorang perempuan.

"Aku banyak membeli buku tentang diva, karena diva itu 'kan artinya perempuan atau diartikan sebagai perempuan secara umum. Dari buku-buku itu aku jadi mengerti bagaimana seharusnya memberikan penghargaan pada diri kita sebagai perempuan, dan bagaimana seharusnya menghargai tubuh kita, misalnya dengan beristirahat, dan sebagainya," ungkapnya ketika ditemui SP di Jakarta, baru-baru ini.

Di tengah kesibukannya "menjalankan" perusahaan KD Productions (bergerak dibidang promotor, dan manajemen artis), KD Records (industri rekaman), KD Films (produksi film), dan KD Line (produsen kosmetik artis Sacred Goddess) bersama suaminya, Anang Hermansyah, ibu dari Titania Aurelie Nurhermansyah dan Azriel Akbar Hermansyah ini berusaha selalu meluangkan waktu untuk membaca minimal satu halaman dalam satu hari.

"Meski tak punya banyak waktu untuk membaca, tapi membaca selalu jadi bagian dari kegiatanku sehari-hari. Minimal dalam satu hari aku membaca satu halaman buku atau majalah dan lainnya," kata adik kandung dari penyanyi Yuni Shara ini.

Hobi membaca, kata Yanti, tak hanya menjadi miliknya, karena sang suami dan dua anak mereka juga punya hobi yang sama. Karena itu setiap ada waktu luang, Yanti sedapat mungkin berusaha mengajak anak-anaknya mengunjungi toko buku.

"Biasanya kalau ada kesempatan, kami mengunjungi toko buku yang besar untuk membeli banyak buku sebagai stok untuk dibaca selama beberapa waktu. Ketika di toko buku, kami semua berpencar ke rak-rak buku yang disukai. Begitu juga anak-anak, apalagi Aurel, dia paling senang kalau diajak ke toko buku ," urai perempuan kelahiran Batu, Jawa Timur, pada 24 Maret 1975 itu.

Tapi jika sedang tak punya banyak waktu luang, perempuan yang pernah menerbitkan buku tentangnya bertajuk Seribu Satu KD itu mengaku, memilih berbelanja buku lewat internet.

Yanti menyayangkan masih minimnya jumlah masyarakat Indonesia yang gemar membaca buku. Dia mengaku prihatin, karena sebagian dari masyarakat kita lebih suka menonton gosip daripada membaca .

"Padahal ketika saya ke luar negeri, misalnya ke Jepang, saya lihat masyarakat di sana hampir semuanya hobi membaca. Bahkan buku-buku di sana bentuknya kecil-kecil. Hal itu dikarenakan semakin sesaknya jumlah orang di sana, tapi keinginan mereka untuk membaca masih tetap besar. Sehingga meski harus berdesak-desakan di kereta, mereka tetap masih bisa leluasa membaca tanpa bukunya mengganggu orang di dekatnya ," ungkap Yanti.

Bepergian ke luar negeri, kata Yanti, kerap dia lakukan demi memenuhi undangan show menyanyi dan promo album barunya. Saat manggung di depan masyarakat Indonesia dan orang asing di negara-negara tersebut memberikan rasa bangga baginya. Kebanggaan yang sama, juga dia rasakan ketika jerih payahnya sebagai penyanyi mendapat berbagai penghargaan dari negara lain.

"Manggung di luar negeri memberikan rasa bangga yang luar biasa bagi saya, karena saat itu saya bisa menunjukkan keindahan lagu-lagu Indonesia pada bangsa lain," kata perempuan dengan berat tubuh 48 kilogram dan tinggi 165 cm itu.

Kesibukannya sebagai penyanyi, jelas Yanti, kian bertambah setelah dia mengeluarkan album terbarunya yang bertajuk Krisdayanti. Terlebih promosi album ini juga dibarengi dengan promosi produk kosmetik artis berlabel Sacred Goddess yang diproduksi perusahaan KD Line bekerja sama dengan produsen kosmetika, Profesional Artist Cosmetics (PAC) Martha Tilaar.

Lewat album bertajuk namanya itu, Yanti, mengaku ingin menunjukkan kematangannya sebagai seorang penyanyi setelah limabelas tahun berkiprah di dunia tarik suara. Dengan sikap ingin tampil apa adanya, sepuluh lagu yang terdapat dalam album ini pun dibuat sederhana, baik dalam hal bentuk, struktur, sampai aransemennya.

"Pada aransemen musiknya, lagu-lagu di album ini tak ada yang grande, tak ada yang ingin diberi kesan serba besar, juga tanpa string. Sejauh ini aku telah bekerja selama 15 tahun secara sungguh-sungguh. Pada saat ini, KD berada pada fase kematangan, aku ingin tampil apa adanya sebagai Krisdayanti," ujarnya.

Selain dibantu sang suami, ungkap Yanti, sejumlah musisi dan pencipta lagu juga ikut membantu dalam produksi album ini. Di antaranya Yovie Widianto, Anto Hoed dan Melly Goeslaw, Dewiq, dan Indra Lesmana. [Y-6]


Sumber: Suara Pembaruan, 20 Mei 2007

Wednesday, May 31, 2006

Metode Pembelajaran Harus Interaktif

» Pembelajaran Jangan Andalkan Ceramah dan Hafalan «

[TANGERANG] Proses pembelajaran di kelas harus mengakomodasi terjadinya interaksi intelektual antara guru dan siswa. Pembelajaran jangan lagi mengandalkan ceramah dan materi hafalan belaka.

Hal itu disampaikan Rektor Universitas Terbuka (UT) Atwi Suparman dalam pidato saat wisuda ke-2 UT tahun 2006 di Pondok Cabe, Tangerang, Banten, Selasa (30/5). Pada wisuda kali ini, UT meluluskan 3.675 mahasiswa dari Program Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Guru Kelas, 6.714, Program Diploma II PGSD Guru Kelas, dan lima lulusan Program Sertifikasi Terakreditasi Diploma II PGSD Guru Kelas pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Atwi menyampaikan ilustrasi mengenai Tilly Smith (11), bocah perempuan asal London yang berhasil menyelamatkan ratusan nyawa saat tsunami di Pantai Maikho, Phuket, Thailand. Proses pembelajaran dengan menggunakan video yang menampilkan gambar tsunami di Hawai, amat membekas di hatinya. Materi tsunami yang disampaikan dengan menarik oleh guru yang didukung media membuat pembelajaran menjadi bermakna. "Tilly dapat mengingat terus materi yang bukan sekadar hafalan. Proses pembelajaran harus benar-benar menerapkan paradigma baru dengan memperlakukan siswa sebagai subjek didik," ujarnya.

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan hendaknya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruangan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian, sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.

"Rumusan itu bukan mantra yang harus dihafalkan, melainkan sebuah pijakan untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Dalam konteks ini, peran guru sebagai sumber keteladanan juga harus benar-benar diperhatikan," tegasnya. [Suara Pembaruan - 30/05/06]

Friday, September 23, 2005

Education can break vicious poverty cycle

BEIJING, Xinhuanet -- Statistics, they say, conceal more than they reveal. Not always, though.

On September 8, the International Literacy Day, China announced it still has 85 million illiterate people. Most of them are clustered in the country's less developed rural areas of the landlocked western regions.

Earlier, Liu Xiaoyun, a scholar with China Agricultural University, disclosed that there are the same number of people in China still in the grip of poverty. Again, they are rural residents or migrant "floating" groups from rural areas.

The announcements may have been mutually exclusive but the figure of 85 million is more than a coincidence.

Official explanations are difficult to find but it is common knowledge that the illiterate are more likely to remain poor, and the poor are more likely to be illiterate (or uneducated and unskilled). It is a vicious cycle. The poor cannot afford education, and the illiterate cannot hope to earn enough to overcome poverty.

Those caught in the cycle tend to remain poor throughout their life and, in many cases, down the generations. And almost always, the children are the worst sufferers in this transgenerational poverty.

So how does one get out of the rut?

China enforced a nine-year compulsory education system in 1986; and the Ministry of Education reported a 90-per-cent attendance rate for compulsory education last year.

It is a reasonable postulation that the 10 per cent who didn't attend schools were children of the disadvantaged groups.

For the poorest group of children, poverty is both a cause and a result of inaccessibility to education. Poor children are less likely to be enrolled in schools or to complete the basic level of education. For, even if schooling is free (a goal of the Chinese Government), uniforms, stationery and transport are not. And these may still be well beyond the means of a poor family.

So what does a family with more than one school-going kid do? It may decide to pull out one or more of its children from school. Unfortunately, in most of the cases it is the girl child that falls victim to the hand of fate.

Xiao Mei, a senior secondary school student, is the daughter of one such poor family in Yuzhong County of Gansu Province. Since the rural household depends on income from agriculture, her father said he could no longer afford education for both children, Xiao and her brother. But he did not want to be unfair to either of them. So on August 24, he decided to choose the "school-goer" by drawing lots. The boy won. Unable to bear the pain of having to stay away from school, Xiao Mei tried to commit suicide. Fortunately, she did not succeed. That is how difficult and painful education for a poor family can be.

There is another reason why poor parents are forced to keep their wards out of school: family income. If the child is old enough to work and drops out of school, he/she can contribute, however little, to the family instead of making it pay for his/her education.

In 2003, China spent 3.28 per cent of its gross domestic product (GDP) on education - well below the world's average of 4.1 per cent for developing countries and merely half that of the developed ones.

Governments at the lowest levels - in townships and counties - shouldered the bulk of the financial burden to provide education for children, most of them in the rural areas. Unlike central and provincial governments that have a diverse source of revenue, the grass-roots authorities' income is heavily reliant on agricultural taxes and fees, thus putting them in a real Catch-22 situation as far as rural education is concerned.

The rural poor have to pay more so that grass-roots authorities will be better off financially to provide for their children's education. But the more they pay, the more impoverished their condition becomes. And the less they pay, the more difficult it is for the authorities to raise education funds. But worse than that is the choice a poor family has to make: falling deeper into poverty to educate a child, or maintaining the status quo without any real future for the children.

We know the cycle of poverty can be broken through education. So let the central and provincial governments shoulder a bigger share of the financial burden needed to make education truly free, starting with the poorest 10 per cent of school-age kids.

Such a move will help bridge the "education gap," or inequities in education - giving equal access to all children and relieving the poor of the pinch of education cost. We all know that if our children's future remains unpromising, so would be that of the nation. (Source: China Daily)