Wednesday, May 31, 2006

Metode Pembelajaran Harus Interaktif

» Pembelajaran Jangan Andalkan Ceramah dan Hafalan «

[TANGERANG] Proses pembelajaran di kelas harus mengakomodasi terjadinya interaksi intelektual antara guru dan siswa. Pembelajaran jangan lagi mengandalkan ceramah dan materi hafalan belaka.

Hal itu disampaikan Rektor Universitas Terbuka (UT) Atwi Suparman dalam pidato saat wisuda ke-2 UT tahun 2006 di Pondok Cabe, Tangerang, Banten, Selasa (30/5). Pada wisuda kali ini, UT meluluskan 3.675 mahasiswa dari Program Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Guru Kelas, 6.714, Program Diploma II PGSD Guru Kelas, dan lima lulusan Program Sertifikasi Terakreditasi Diploma II PGSD Guru Kelas pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Atwi menyampaikan ilustrasi mengenai Tilly Smith (11), bocah perempuan asal London yang berhasil menyelamatkan ratusan nyawa saat tsunami di Pantai Maikho, Phuket, Thailand. Proses pembelajaran dengan menggunakan video yang menampilkan gambar tsunami di Hawai, amat membekas di hatinya. Materi tsunami yang disampaikan dengan menarik oleh guru yang didukung media membuat pembelajaran menjadi bermakna. "Tilly dapat mengingat terus materi yang bukan sekadar hafalan. Proses pembelajaran harus benar-benar menerapkan paradigma baru dengan memperlakukan siswa sebagai subjek didik," ujarnya.

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan hendaknya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruangan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian, sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.

"Rumusan itu bukan mantra yang harus dihafalkan, melainkan sebuah pijakan untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Dalam konteks ini, peran guru sebagai sumber keteladanan juga harus benar-benar diperhatikan," tegasnya. [Suara Pembaruan - 30/05/06]

Wednesday, May 24, 2006

A Rhapsody on Chibi River

















On and on the Great River rolls, racing east
Of proud and gallant heroes its white-tops leave no trace,
As right and wrong, pride and fall turn all at once unreal.

When all the dreams drain,
Same are loss and gain.
Yet under the pink sunsets
the green hills ever stay
to blaze in the west-waving day

White haired fishermen comb the river isles
having seen enough of spring and autumn tides
Over a jar of wine they talk and laugh
Where many a famed event
Provides their merriment.

(from the epic story of Romance of the Three Kingdoms)


Monday, May 15, 2006

Iman, Kebenaran, dan Tindakan

Roma 1:17: Orang benar akan hidup oleh iman.
Yakobus 2:17: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati.

APABILA KEDUA ayat di atas dihubungkan dengan kalimat "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." di Kejadian 15:6, maka dengan segera kita dapat melihat bahwa message yang dibawa sepanjang Alkitab terus konsisten dari PL hingga PB. Ketiga elemen ini (iman, kebenaran, dan tindakan) senantiasa terintegrasi satu sama lain dan tidak bersilangan antara mereka.

Iman percaya Abram diperhitungkan kepadanya sebagai credit tersendiri oleh Tuhan dalam bentuk 'kebenaran'. Namun tidak berhenti pada beriman saja, Abraham pun setia menindaklanjuti dengan tindakan yang nyata, yakni taat kepada panggilan-Nya dan pergi ke tempat di mana Tuhan mengutusnya. Lema 'faithful' dalam bahasa Inggris sebetulnya sangat bagus karena secara umum berarti setia, tetapi juga sekaligus mengandung unsur faith (iman) di dalamnya. Jadi setia = beriman. Beriman = setia. Tak dapat terpisah.

Setiap kita pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Masalahnya, jumlah orang yang dengan rendah hati mengakui kelemahan dan bersedia memperbaiki kekurangan itu dapat dihitung dengan jari. Integrasi iman dengan perbuatan yang secara tegas disuratkan oleh Rasul Yakobus (ayat di atas) menjadi teramat sulit dicapai oleh orang Kristen, bahkan banyak pendeta pada hari ini. Perintah mengasihi sesama (juga musuh!) jelas tersebar di sepanjang PB (Mat 5:47, Yoh 13:34-35, Rm 12:10, I Kor 8:3, Ef 5:2, I Pet 3:8), tetapi bukan saja kita kurang mengasihi sesama, malah "menciptakan" atau menjadikan saudara sebagai musuh kita. Karena itu, gerakan 'Back to Basic' sejatinya dimulai dan dipelopori oleh mereka-mereka yang menggelorakan konsep 'back to basic' dari atas mimbar.

Orang yang benar akan hidup oleh iman, sedangkan iman tanpa perbuatan adalah mati. Berarti orang yang benar adalah orang yang berbuat (segala sesuatu yang dilandasi oleh imannya) dan tidak menyimpan pengetahuan imaninya secara kognitif saja. Misalnya kalau kita mengimani bahwa kasih itu sabar, murah hati, mengampuni dll, tetapi pada saat kesempatan datang untuk melakukan semua itu, kita gagal membagikan dan mengalami kasih itu – padahal ini bukan doktrin/teologi yang njelimet dan susah dimengerti, bahkan mungkin kita sudah bosan mendengarnya. Hal inilah yang seyogyanya kita pelajari untuk senantiasa sanggup mempertahankan kejernihan berpikir dan berjejak pada basic faith di tengah samudera bergelombang intrik dan politiking yang sudah jauh dan jauh meninggalkan kasih mula-mula yang dulu diajarkan ayah/ibu/guru SM tatkala kita masih kecil. I Yohanes 3:11 mengingatkan: Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasihi.

Apabila keberagaman keadaan gereja pada saat ini dapat diwakili oleh tujuh macam gereja yang dikirimi surat di kitab Wahyu, maka tentulah masalah tersebut paling mirip dengan situasi jemaat di Efesus (Why 2:4). Kolaborasi iman, kebenaran, dan tindakan yang solid akan sangat mendukung representasi wajah kekristenan di mata dunia sehingga terang kita bercahaya di depan orang dan mereka memuliakan Bapa di surga (Mat 5:16). Tanpa itu, bukan saja tidak ada terang yang dapat kita pancarkan, lebih buruk kita menjadi batu sandungan bagi orang lain dan memalukan jemaat yang bersangkutan secara khusus, dan segenap umat Kristen secara umum (ingat majas pars pro toto).

Di lain pihak, tentulah tidak adil kalau kita menggebyah uyah ekspektasi seperti ini dalam segala bidang kehidupan pada segala tahap pertumbuhan rohani. Tidak ada orang yang mampu mencapai tingkat kematangan yang tinggi dalam sekejap. Setiap orang berada pada level yang berbeda-beda, namun ia tidak boleh puas hingga di situ karena kalau demikian ia sudah terjerumus ke suatu tempat yang kerap disebut comfort zone. Karena itu, terlebih menyedihkan dan menghancurkan hati apabila kita yang telah menjadi church-goers sekian belas atau puluhan tahun, apalagi mereka yang dipercayakan pelayanan firman setiap minggu selama bertahun-tahun masih belum dengan serius menggabungkan iman, kebenaran, dan tindakan dalam satu paket diri masing-masing.

Ini bukan upaya pelukisan bayangan atau buaian, melainkan kenyataan yang telah dan sedang terjadi di saat integritas dan sejarah kekristenan menerima serangan bertubi-tubi dari pihak luar. Sebetulnya yang paling kita butuhkan saat ini adalah keseimbangan. Beberapa jemaat begitu bersemangat dalam beriman dan berusaha mewujudkannya dalam tindakan-tindakan yang “nyata” bahkan cenderung ingin menggapai tataran supranatural, tetapi, sayang, mengabaikan keutuhan Alkitab dan sering kali jatuh pada ekstrem pemfokusan satu doktrin secara berlebihan. Di wilayah lain, ada pula jemaat yang tampil dengan karakteristik pembelajaran yang nyaris sempurna atas pembedahan Alkitab, namun, sayang, pengetahuan yang tinggi rupanya terlalu memberatkan kepalanya sehingga kakinya tidak berjejak di darat dan melupakan ajaran mula-mula. Sebaliknya, ada pula individu yang mencoba menggabungkan keduanya, tetapi tanpa disadarinya ia malah berakhir pada kehilangan identitas karena tidak dingin atau panas alias suam-suam kuku.

Karena itu, untuk mencapai keseimbangan soliditas iman, kebenaran, dan tindakan ini, setiap kita memerlukan kerendahan hati untuk senantiasa ingin belajar. Bukan hanya mencari kerajaan Allah dan kebenaran-Nya seturut iman yang dianugerahkan kepada kita. Bukan hanya beriman namun bertindak secara serampangan tanpa landasan teologis yang kukuh. Bukan pula bersikap alergi terhadap keduanya dan cuma berani “mandi dengan siraman air hangat” dan nyaman di sana. Melainkan dengan bertekun belajar melaksanakan ketiganya secara bersamaan dan saling mengingatkan menjelang hari Tuhan yang mendekat. (EJ - 15 Mei 2006)