World Cup Aftertaste
World Cup GERMANY 2006 memang baru saja berakhir, tetapi aftertastenya masih terus dirasakan. Ada taste manis dan gembira bagi negara pemenang dan mereka yg mencapai target, ada taste pahit dan kecewa bagi yg kalah, ada pula taste pedas dan ketidakadilan, dan yg saya kira paling menonjol adalah the taste of sportsmanship di antara 32 tim (736 atlet) sepanjang 64 pertandingan selama 31 hari. Saya sendiri jauh dari kategori pemerhati atau penggemar sepak bola, tetapi ada kekecualian untuk ajang empat tahunan yg mengklaim disaksikan oleh 5 miliar pemirsa ini.
Seorang rekan, penggemar "asli" sepak bola, mengatakan bahwa meskipun World Cup adalah event sepak bola paling bergengsi, tetapi permainan yg disuguhkan tim-tim Piala Dunia ini belum tentu yg paling menarik! Mengapa demikian? Dalam kompetisi Liga-Liga di Eropa yg sangat banyak sepanjang tahun, para pemain yg berprestasi gemilang dari berbagai negara "dikumpulkan" di klub yg paling berduit (saat ini dipegang oleh klub Chelsea) sehingga jelas lebih seru apabila melawan klub lain yg juga "mengumpulkan" para pemain andalannya. Jago lawan jago!Sedangkan dalam event Piala Dunia, setiap tim bermain mewakili negaranya masing-masing dan tidak mungkin semua atlet yg bersinar "dikumpulkan" di negara tertentu. Namun bedanya, mereka berjuang dan bertanding seraya mempertaruhkan keharuman nama negaranya. Rasa dan semangat nasionalisme sangat kental di sini karena mereka (dan para penonton) sangat ingin membawa nama negara masing-masing ke puncak yang setinggi mungkin sehingga kalau bisa "All Eyes on Me!! This is my country!". Bagi saya yang awam soal persepakbolaan, ini jauh lebih menarik dan lebih relevan!
Memang betul kata orang bahwa bola itu bundar, eh salah, bulat. Apa pun bisa terjadi di lapangan hijau dan serba tak terprediksi. (Memangnya kalau bolanya berbentuk persegi bisa diprediksi? :-) Prancis yg harus maju tertatih-tatih ketika masih di Group Phase (bahkan melawan Korea pun seri!) ternyata bisa mencapai Final. Brazil yg kita perkirakan akan menjadi calon kuat pemenang World Cup 2006 ini sudah harus pulang kampung dengan kepala tertunduk setelah kebobolan satu gol di babak perempat final. Satu lagi, Italia yg sebetulnya juga sudah berada di ujung tanduk karena ditahan 0-0 oleh Australia hingga menit ke-95 di Babak 16 besar ternyata bisa lolos ke perempat final sesudah wasit menghadiahkan penalty kick yg sangat kontroversial pada detik terakhir pertandingan dan mengubah skor menjadi 1-0 untuk Italia dan… game over!
Hingga usai Piala Dunia, inilah satu-satunya match yg saya saksikan secara full karena suasana dan spirit perjuangan mendukung the Socceroos (sebutan utk pesepak bola Australia yg berlaga di World Cup) sangat terasa di kangaroo country ini bak lidah api yg menjilat-jilat sampai ke langit. Seperti masyarakat Aussie, saya pun menginginkan Australia bisa menang atas Italia. Bukan mimpi di siang bolong karena kalau kita perhatikan jalannya pertandingan terlihat bahwa tim asuhan Guus Hiddink ini menguasai permainan dengan mendominasi ball possession sebanyak 56% melawan the Squada Azzura (julukan tim Italia dalam bahasa aslinya). Seperti kita tahu, Guus Hiddink adalah pelatih soccer kondang yg secara mengejutkan membawa Taeguk Warriors (tim Korea Selatan) melaju ke semifinal pada World Cup 2002. Karena itu, tidak terlalu berlebihan apabila para pendukung the Socceroos memiliki harapan serupa karena we have everything we need (penguasaan bola, pelatih kelas dunia, dan pemain yg ulet dan tak kenal menyerah). Bahkan saat bermain melawan tim Brazil pun, ada kutipan dari harian lokal: "Kalau saja kita hanya menghadapi 11 orang penari Samba itu dan tidak perlu menghadapi sang referee yg berat sebelah, maka keadaannya mungkin akan berbeda." Dalam match itu, Brazil mengalahkan Australia dengan skor 2-0 yg keduanya juga kontroversial (meskipun tidak sesadis kekalahan 1-0 dari Italia).
Reaksi saya secara alami pada saat menyaksikan akhir dari Italy vs. Australia itu adalah tidak menerima, tidak percaya, marah, dan bingung. Tidak menerima karena tidak seharusnya tim dari Down Under (julukan benua Australia) dihukum dengan memberikan 'hadiah' tendangan penalti ke lawan gara-gara seorang socceroo Lucas Neill divonis oleh wasit men-tackle Fabio Grosso dari Italia di kotak penalti dan membuat Grosso tersungkur jatuh ke depan. Padahal sebagai penonton, amat jelas (juga dari video replay) terlihat bahwa hanya ada kontak fisik yg sangat minimal antara kedua pemain dan Grosso juga memang sudah akan terjerembab meskipun Neill tidak berada di dekatnya. Hanya karena Neill ikutan "menyerang" ke arah Grosso dan ingin membantu rekan setimnya untuk menguasai bola dan bukan dia yg tergeletak di tanah, wasit langsung memutuskan secara arbitrary dan memberikan sanksi tendangan penalti ke Italia sebagai pihak yg "dijatuhkan" dalam insiden itu.
Ada beberapa hal yg menjadi perenungan dan bahan pembelajaran saya pribadi dari event World Cup ini. Pertama, tidak ada seorang pun yg secara literal dapat diandalkan untuk bertindak adil dalam segala hal. Mungkin saja seseorang kurang adil karena ia kurang menguasai bidang keahlian yg menjadi pekerjaannya. Saya yakin sekali mereka yg dipilih menjadi referee utk pertandingan sepak bola sekelas World Cup pastilah wasit yg sudah sangat berpengalaman dan memiliki reputasi unggul. Akan tetapi, bahkan mereka yg sudah expert dan tersaring pun masih banyak melakukan blunder yg merugikan banyak tim dan menimbulkan taste pedas ini. Saya ikut mengirimkan komentar ke surat kabar Sydney Morning Herald online dan menyatakan ketidakmengertian saya kok bisa-bisanya "this blatant unfairness was allowed to unfold before the eyes of millions of spectators?" Mengapa tidak ada mekanisme yg dapat membatalkan keputusan wasit? Apakah FIFA tidak berdaya apa-apa dalam hal ini? Ini 'kan World Cup yg disebut-sebut sebagai the world's greatest sports game. Apakah sang wasit sudah kena bribe mengingat persepakbolaan Italia sedang dilanda masalah suap dan kecurangan manajemen? Banyak pertanyaan yg mencecar otak saya.
Ada pembaca yg menyatakan: "It's part of the game! Terima saja kalau memang sudah kalah." Apa benar begitu? Jadi terlintas di pikiran bahwa insiden ketidakadilan semacam ini sangat dekat dengan keseharian kita. Bagaimana dengan tim manajemen di organisasi kita? Atau kita sendiri sudah menjadi bagian dari manajemen yg memengaruhi "profesionalisme keadilan" para bawahan kita? Jelas tidak seorang pun dapat di-expect untuk menerapkan judgment yg tepat dan fair bagi semua pihak di setiap saat. Namun, kalau kita sudah bisa melihat betapa rawan posisi seorang wasit sepak bola yang memimpin dua tim yg sedang berlaga, tentu kita juga bisa menyadari betapa terlebih "berbahaya"nya posisi seorang leader yg mengawasi puluhan atau ratusan anak buah karena faktor kecerobohan dan unfair act itu selalu mengintai seberapa hebatnya sang pemimpin.
Butir kedua yg juga penting kita cermati adalah mengenai peran penonton. Kita tidak akan pernah tahu apa yg sesungguhnya terjadi di lapangan apabila tidak ada yg memerhatikan setiap pergerakan para pemain. Siapa yg bermain cantik, siapa yg melakukan tendangan umpan yg sangat indah dan menghasilkan gol yg mantap, dan siapa pula yg curang dengan menjegal lawan atau berpura-pura jatuh (diving) agar tim lawan terkena hukuman. Semua ini tidak akan terdeteksi jika penonton tidak memberikan perhatian yg tentunya sangat terbantu dengan adanya rekaman ulang dari pelbagai sudut oleh puluhan kamera yg dipasang di sekitar stadium. Sering kali kita sulit memperoleh gambaran yg jernih dalam menganalisis suatu masalah atau dilema dalam pekerjaan atau persaingan bisnis karena kita tidak menempatkan diri sebagai "penonton" -- karena kita memang bukan penonton, kita adalah "pemain"nya. Karena itu, mungkin ide yg baik apabila kita bisa berhenti sejenak, keluar dari medan laga, lalu mencoba utk melihat apa yg sebenarnya terjadi di dalam. Atau bisa juga kita minta seorang rekan atau sobat untuk bertindak sebagai pihak ketiga dan memberikan pandangannya.
Dalam suatu pertandingan sepak bola jelas diperlukan suatu kerja sama tim yg kompak. Sang bola berkulit bundar itu rela saja diperebutkan dan disepak ke mana pun, terkadang sudah mendekat ke daerah musuh tetapi harus digiring menjauh dulu ke anggota tim yg lain untuk kemudian dioper-oper beberapa kali sebelum ditembakkan ke gawang. Kalau kita terapkan ini dalam organisasi, tidak semua anggota tim -apalagi the team leader- bersedia mengoper "bola" (mungkin ini yg disebut cheese menurut Spencer Johnson) ke rekan setimnya untuk kemudian membiarkan dia menggolkan bola itu ke jaring lawan dan memberi kontribusi skor kepada seluruh tim. Sama seperti suatu kesebelasan sepak bola, barang siapa yg menghasilkan skor bagi timnya dari sundulan bola ke gawang, dialah yg memperoleh kredit dan siraman perhatian media lebih daripada rekan-rekan setimnya termasuk kapten tim itu. Hal ini amat berlaku bagi tim Australia di mana sang kapten Mark Viduka tidak pernah menyumbangkan satu gol pun selama World Cup ini, sementara rekan-rekannya yg sukses menggolkan bola lebih terangkat namanya dan memperoleh puja-puji berbagai pihak. Pertanyaannya: Relakah kita men-transfer kredit (atau cheese yg sangat menggoda) itu kepada orang lain demi kepentingan dan kemajuan tim dan organisasi kita?
Anyway, tidak dapat disangkal semarak dan gemerlap World Cup ke-18 selama sebulan terakhir ini sudah menambah kemeriahan dunia ini, menghiasi surat-surat kabar, layar kaca, internet, dan media massa lainnya. Paling tidak ia telah meneteskan beberapa titik momen yg entertaining –meskipun sekaligus painful– di tengah hiruk pikuk panggung dunia yg diselingi campuran taste manis, pedas, dan pahit. Majalah TIME mencatat: "... this year's World Cup the foremost shared experience on this planet regardless of who won and who lost... despite strict refereeing gave everyone -especially players- something to argue about... nothing beat the passion in the stands." Sampai jumpa di World Cup South Africa 2010! ***
Emil Jayaputra
« Some World Cup Quotes »
[ It would make me a lot happier if I could meet up again next year with as many friends as possible from all over the world who I've met during my career. That's where the great opportunity lies, for me personally, in our role as World Cup host. -Franz Beckenbauer ]
[ Money isn't everything in life. I need to have sunshine, to wear shorts, to go to the beach, and I get all that in Portugal. - Luiz Felipe Scolari in seeing the benefits of staying on as Portugal coach ]
No comments:
Post a Comment