Sensus yang bukan desas-desus
PETANG tadi dalam perjalanan pulang di kereta, seorang pendeta di Jakarta menggetarkan saku kiri saya dengan pesan:
"Hari ini pemerintah Aussie declare bahwa Christianity di sini menurun hebat, walaupun penduduk bertambah. Bagaimana gerejamu? Mampu berperan lebih besar??? Perlu suatu keberanian melangkah dgn iman!"
Short message itu langsung aku balas: "I'm not surprised with the census result. Church? A bit hopeless. We seem to be too family-oriented with no strong will to learn & discuss global issues. I feel lonely here."
Memang benar, menurut hasil Sensus Penduduk Australia yg digelar serentak pada 8 Agustus 2006 yg lalu, Australia sekarang sudah bukan Australia satu dasawarsa sebelumnya. Saat ini Australians dapat berkata: "We are now earning more (due to strong economic growth), growing older, but also becoming less devout." Less devout karena persentase penduduk yg mengaku no faith meningkat cukup tajam (2%) menjadi hampir 19% dari 20 juta penduduk per tanggal sensus. Sementara penduduk yg mengaku berada dalam golongan Christianity menurun 7% atau hanya mengalami pertambahan 103,072 jiwa selama kurun 1996-2006.
Akan tetapi, tanggapanku terhadap SMS sang pendeta bukanlah hanya mencerminkan gerejaku secara sempit, tetapi juga mencakup komunitas gereja Indonesia di Sydney, bahkan secara general komunitas masyarakat Nasrani di kota dan negara ini. Apabila umat Kristen hanya terkungkung dalam pergerakan seputar batas-batas yg kelihatan saja on daily basis, maka sangatlah tidak mengejutkan apabila grafik kekristenan cenderung menurun (dari 71% menjadi 64%, sudah termasuk Roma Katolik) di negara kanguru ini, sedangkan kaum no religion melonjak sebanyak 757,667 manusia dan umat nonKristen (sebagai agama alternatif) berkembang at a double rate semenjak 10 tahun terakhir ini.
Ketika aku menyuarakan istilah "family-oriented" dengan nada yg kurang positif di atas, itu bukan berarti berorientasi kepada keluarga adalah buruk. Sama sekali tidak, bahkan jauh lebih baik menghabiskan quality time bersama keluarga sebanyak mungkin daripada menjadi workaholic di kantor atau plesiran di Star City, minum-minum di bar, dsb. Masalahnya adalah keterbelengguan orang Kristen dalam mengurus rumah tangga, anak-anak, dan pekerjaan sering kali membawa mereka ke dalam ketidakmungkinan utk ikut memikirkan, peduli, dan peka terhadap issue-issue global & kekristenan yg sedang terjadi dan berubah di sekitar mereka.
Susahnya, ketika diingatkan, banyak yg malah tersinggung atau dengan enteng menyatakan: "Hmm, kamu belom ngerasain sih yah (punya anak)." "Wah, kamu punya banyak waktu ya bikin ini itu. (Mengirim artikel/tulisan via email, membaca buku, menulis.) Nanti kalo sudah punya anak, udah nggak bisa deh!" Secara umum, komentar-komentar seperti itu ada benarnya. Sedikit. Tapi salahnya jauh lebih besar atau lebih tepat tidak jujur. Mari kita analisis pemikiran mereka dengan pernyataan seperti itu:
1. Mari tanyakan: Apakah sebelum punya anak, mereka cukup peduli terhadap issue-issue di luar diri & keluarga mereka? Lebih jauh ke belakang, apakah saat masih single, mereka sudah cukup banyak membaca buku, bahkan menulis sehingga saat ini merasa tidak perlu lagi membaca buku?
(Ini ada kliping bagus dari Suara Pembaruan mengenai Kris Dayanti dan sumber inspirasinya yg patut dibaca oleh para papa dan mama yg merasa diri terlalu sibuk membaca buku.)
"Hari ini pemerintah Aussie declare bahwa Christianity di sini menurun hebat, walaupun penduduk bertambah. Bagaimana gerejamu? Mampu berperan lebih besar??? Perlu suatu keberanian melangkah dgn iman!"
Short message itu langsung aku balas: "I'm not surprised with the census result. Church? A bit hopeless. We seem to be too family-oriented with no strong will to learn & discuss global issues. I feel lonely here."
Memang benar, menurut hasil Sensus Penduduk Australia yg digelar serentak pada 8 Agustus 2006 yg lalu, Australia sekarang sudah bukan Australia satu dasawarsa sebelumnya. Saat ini Australians dapat berkata: "We are now earning more (due to strong economic growth), growing older, but also becoming less devout." Less devout karena persentase penduduk yg mengaku no faith meningkat cukup tajam (2%) menjadi hampir 19% dari 20 juta penduduk per tanggal sensus. Sementara penduduk yg mengaku berada dalam golongan Christianity menurun 7% atau hanya mengalami pertambahan 103,072 jiwa selama kurun 1996-2006.
Akan tetapi, tanggapanku terhadap SMS sang pendeta bukanlah hanya mencerminkan gerejaku secara sempit, tetapi juga mencakup komunitas gereja Indonesia di Sydney, bahkan secara general komunitas masyarakat Nasrani di kota dan negara ini. Apabila umat Kristen hanya terkungkung dalam pergerakan seputar batas-batas yg kelihatan saja on daily basis, maka sangatlah tidak mengejutkan apabila grafik kekristenan cenderung menurun (dari 71% menjadi 64%, sudah termasuk Roma Katolik) di negara kanguru ini, sedangkan kaum no religion melonjak sebanyak 757,667 manusia dan umat nonKristen (sebagai agama alternatif) berkembang at a double rate semenjak 10 tahun terakhir ini.
Ketika aku menyuarakan istilah "family-oriented" dengan nada yg kurang positif di atas, itu bukan berarti berorientasi kepada keluarga adalah buruk. Sama sekali tidak, bahkan jauh lebih baik menghabiskan quality time bersama keluarga sebanyak mungkin daripada menjadi workaholic di kantor atau plesiran di Star City, minum-minum di bar, dsb. Masalahnya adalah keterbelengguan orang Kristen dalam mengurus rumah tangga, anak-anak, dan pekerjaan sering kali membawa mereka ke dalam ketidakmungkinan utk ikut memikirkan, peduli, dan peka terhadap issue-issue global & kekristenan yg sedang terjadi dan berubah di sekitar mereka.
Susahnya, ketika diingatkan, banyak yg malah tersinggung atau dengan enteng menyatakan: "Hmm, kamu belom ngerasain sih yah (punya anak)." "Wah, kamu punya banyak waktu ya bikin ini itu. (Mengirim artikel/tulisan via email, membaca buku, menulis.) Nanti kalo sudah punya anak, udah nggak bisa deh!" Secara umum, komentar-komentar seperti itu ada benarnya. Sedikit. Tapi salahnya jauh lebih besar atau lebih tepat tidak jujur. Mari kita analisis pemikiran mereka dengan pernyataan seperti itu:
1. Mari tanyakan: Apakah sebelum punya anak, mereka cukup peduli terhadap issue-issue di luar diri & keluarga mereka? Lebih jauh ke belakang, apakah saat masih single, mereka sudah cukup banyak membaca buku, bahkan menulis sehingga saat ini merasa tidak perlu lagi membaca buku?
(Ini ada kliping bagus dari Suara Pembaruan mengenai Kris Dayanti dan sumber inspirasinya yg patut dibaca oleh para papa dan mama yg merasa diri terlalu sibuk membaca buku.)
2. Kerap kali orang seperti saya dicap sombong dalam kerohanian akibat dari usaha-usaha personal membangkitkan kesadaran mereka, tetapi coba kita pikirkan lebih mendalam dan jujur: Sebetulnya siapa yg angkuh dan merasa diri sudah pandai? Apakah mereka yg merasa diri lebih tua, sudah berkeluarga, sudah punya anak istri, sudah lebih matang dalam kepribadian & berpengalaman dalam hidup, lalu tidak merasa perlu lagi belajar (meskipun dengan topeng alasan "tidak punya waktu"), atau saya yg bertekad terus belajar dengan cara apa pun meskipun nanti sudah punya anak & tanggungan yg lebih banyak (meskipun saya sadar waktu yg dialokasikan untuk ini tidak akan bisa sebanyak sekarang)?
Sangat disayangkan, manusia modern bahkan postmodern hanya melihat bentuk (yg kelihatan), tetapi tidak mampu melihat esensi (yg tidak kelihatan) persoalan sesungguhnya --tercermin dari selorohan tak berdasar seperti di atas (yg mungkin pula hanya excuse yg tidak jujur padahal aslinya memang malas.) Termasuk urusan agama atau kepercayaan. Orang modern dengan tingkat pendidikannya yg tinggi hanya mampu melihat hal-hal dengan rasio mereka yg diasah dan dipertajam secara kontinu dari primary school hingga university. Di pihak lain, pembelajaran agama yg benar semakin dibatasi di sekolah-sekolah. Akibatnya ya, mudah diduga, banyak yg beropini bahwa faith itu tidak rasional karena tidak dapat diukur (oleh science) dan Tuhan itu tidak kasat mata.
Pemerintah pun seolah mendukung perjuangan ke arah godless society dengan mengizinkan riset-riset ilmiah di bidang cloning (demi alasan penyembuhan lebih banyak penyakit), melebarkan ruang bagi tuntutan persamaan hak kaum sesama jenis (dengan alasan HAM), dan issue-issue sensitif lainnya yg baru bisa kita lihat tingkat kedalaman keseriusan dan parahnya hasil sensus ini apabila kita bersedia sesekali melongok ke luar batas-batas dinding rumah dan belajar peduli terhadap lingkungan yg nantinya toh akan memengaruhi kehidupan dan gaya hidup anak-anak kita. "Melongok ke luar" saja tentu tidak cukup berarti browsing di situs-situs Internet & scanning judul berita-berita penting, melainkan usaha untuk terlibat dalam suatu forum diskusi yg bermakna dengan sesama anak Tuhan lainnya. Paling praktis di gereja karena bisa ketemu setiap minggu. Bukan cuma ngobrolin soal kerjaan, anak, makanan, dan basa-basi sana-sini ala kadarnya yg tidak membawa manfaat jangka panjang apa-apa.
Semoga kita tidak mau diibaratkan sebagai katak yg ditaruh di dalam ember berisi air hangat. Lalu temperatur air dinaikkan sedikit demi sedikit secara perlahan hingga sang katak mati mendidih akibat tidak sadar sudah terlalu lama keenakan berenang-renang dalam kenyamanan air hangat. Apabila kita masih belum mau "bangkit" juga, jangan heran kalau sensus serupa diadakan 10 tahun lagi, situasinya jauh lebih mengecewakan daripada saat ini dan sudah terlambat utk memperbaiki keadaan karena kita lebih suka berdesas-desus daripada menyimak dan mengupas data sensus. ( EJ - 29 June 07)
Sangat disayangkan, manusia modern bahkan postmodern hanya melihat bentuk (yg kelihatan), tetapi tidak mampu melihat esensi (yg tidak kelihatan) persoalan sesungguhnya --tercermin dari selorohan tak berdasar seperti di atas (yg mungkin pula hanya excuse yg tidak jujur padahal aslinya memang malas.) Termasuk urusan agama atau kepercayaan. Orang modern dengan tingkat pendidikannya yg tinggi hanya mampu melihat hal-hal dengan rasio mereka yg diasah dan dipertajam secara kontinu dari primary school hingga university. Di pihak lain, pembelajaran agama yg benar semakin dibatasi di sekolah-sekolah. Akibatnya ya, mudah diduga, banyak yg beropini bahwa faith itu tidak rasional karena tidak dapat diukur (oleh science) dan Tuhan itu tidak kasat mata.
Pemerintah pun seolah mendukung perjuangan ke arah godless society dengan mengizinkan riset-riset ilmiah di bidang cloning (demi alasan penyembuhan lebih banyak penyakit), melebarkan ruang bagi tuntutan persamaan hak kaum sesama jenis (dengan alasan HAM), dan issue-issue sensitif lainnya yg baru bisa kita lihat tingkat kedalaman keseriusan dan parahnya hasil sensus ini apabila kita bersedia sesekali melongok ke luar batas-batas dinding rumah dan belajar peduli terhadap lingkungan yg nantinya toh akan memengaruhi kehidupan dan gaya hidup anak-anak kita. "Melongok ke luar" saja tentu tidak cukup berarti browsing di situs-situs Internet & scanning judul berita-berita penting, melainkan usaha untuk terlibat dalam suatu forum diskusi yg bermakna dengan sesama anak Tuhan lainnya. Paling praktis di gereja karena bisa ketemu setiap minggu. Bukan cuma ngobrolin soal kerjaan, anak, makanan, dan basa-basi sana-sini ala kadarnya yg tidak membawa manfaat jangka panjang apa-apa.
Semoga kita tidak mau diibaratkan sebagai katak yg ditaruh di dalam ember berisi air hangat. Lalu temperatur air dinaikkan sedikit demi sedikit secara perlahan hingga sang katak mati mendidih akibat tidak sadar sudah terlalu lama keenakan berenang-renang dalam kenyamanan air hangat. Apabila kita masih belum mau "bangkit" juga, jangan heran kalau sensus serupa diadakan 10 tahun lagi, situasinya jauh lebih mengecewakan daripada saat ini dan sudah terlambat utk memperbaiki keadaan karena kita lebih suka berdesas-desus daripada menyimak dan mengupas data sensus. ( EJ - 29 June 07)
2 comments:
Dikutip dari EJ:
"Mari tanyakan: Apakah sebelum punya anak, mereka cukup peduli terhadap issue-issue di luar diri & keluarga mereka?"
Pertanyaan yang sangat menarik. Seringkali kita menggunakan alasan 'tanggung jawab' kepada keluarga dengan menjadi apati terhadap dunia luar. Memang benar bahwa Paulus sendiri pun sudah mengingatkan ketika kita berkeluarga, perhatian kita akan terbagi (1 Korintus 7:32-35). Tapi, pada saat yang sama, tidak bisa dijadikan alasan menjadi orang kristen yang suam-suam kuku
Salam kenal, Rusdy (benar ya ini your name? Aku lihat di blog garam dunia-mu.)
Thanks for dropping a comment, esp untuk ayatnya. Ternyata Alkitab berbicara juga ya soal pergumulan orang2 yg sudah berkeluarga secara cukup spesifik seperti ini.
Post a Comment